BAMBU BUNTU

Sabtu, 10 November 2012

LANTUNAN AYAT TERAKHIR


cerpen
LANTUNAN  AYAT TERAKHIR
Bukan mencekam, hanya suasana hening dan isakan tangis yang menyelimuti tempat ini. Aku hanya bisa berdo’a berharap itu semua tidak terjadi pada orang yang kini tengah berbaring disebelahku. Tubuhnya seolah berbicara kesakitan, namun mata indahnya masih terpejam. Kutatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, fisiknya terlihat sehat bahkan sangat sehat. Ku buka tirai berwarna coklat muda di sebelahku. Cuaca di luar kurang bersahabat. Awan yang menangisi bumi dengan langit yang pucat pasi menyelimutinya. Mataku tertuju lagi pada sekerumunan orang yang ada dihadapanku.
Ruangan ini seakan menjadi saksi kesedihan mereka. Semua peralatan medis dilepas dari tubuh sang pasien. Suara tangis yang makin keras, bahkan ada yang tak sadarkan diri. Seorang perawat menutupkan selimut ke sekujur tubuh sang pasien. Ya, pasien itu telah meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Tanpa sadar air mataku telah menggenang, hatiku seakan merasakan kesedihan mereka. Walaupun sang pasien bukanlah sanak keluargaku. Aku hanya teringat lagi pada orang yang berbaring disebelahku. Pikiranku sudah kacau entah kemana, aku jadi semakin mengkhawatirkan keadaannya. Detik demi detik berjalan sangat menegangkan di ruangan ini.
Hampir satu jam suasana belum juga berubah. Berselang menit setelah itu, sang
pasien di pindahkan ke sebuah tempat tidur dan dibawa keluar ruangan. Tak ada lagi sanak keluarga pasien yang tersisa di ruangan ini. Sekarang hanya ada aku dan adikku. Sudah lima hari Dila terbaring di kasur rumah sakit. Usianya bukanlah anak kecil lagi, tapi disaat seperti ini aku selalu menganggap Dila seperti adik kecilku, anak kecilnya ayah dan ibu. Ku baca huruf demi huruf, kata demi kata ayat-ayat cintaNya. Suasana tegang tadi kini mulai mencair.
Dila terbangun dari tidurnya, aku spontan membantu Dila untuk duduk. Dila tidak mau karena sakit lantas meninggalkan kewajibannya begitu saja. Aku membantunya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, sebentar lagi masuk waktu ashar. Aku masih punya wudhu, aku langsung menggelarkan sejadah di samping tempat tidur Dila. Dila sholat di atas tempat tidurnya. Angin yang meniup tirai menemani kami sholat ashar saat ini. Bermesraan dengan Rabb Pencipta Alam Semesta, itu kata-kata yang pernah ibu katakan kepada kami. Saat sholat kita berhadapan langsung dengan Dzat pemilik tubuh ini, berinteraksi langsung lewat bacaan-bacaan sholat yang dirangkai dengan indahnya. Lewat gerakan-gerakan sholat yang pada fitrahnya membuat tubuh ini sehat. Ucapan salam mengakhiri sholat kami. Beribu ampunan dan harapan ku panjatkan dalam setiap do’aku. Begitupun dengan Dila, matanya terpejam, kepalanya tertunduk ke bawah. Berharap semua ampunan dan harapan dikabulkan oleh-Nya. Tak terasa, bulan penuh ampunan, bulan dimana nafas menjadi tasbih, tidur menjadi ibadah, hari-harinya adalah hari yang utama, detik-detiknya adalah detik yang utama, bulan diturunkannya Al-Qur’an petunjuk hidup manusia, bulan yang salah satu malamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan penuh berkah, bulan terbaik diantara bulan-bulan lainnya, bulan dimana pintu syurga dibuka dan pintu neraka ditutup rapat, bulan saat syetan dibelenggu. Ramadhan. Ya, genap satu bulan lagi bertemu dengan Ramadhan. Wa balighna ramadhan, wa balighna ramadhan, wa balighna ramadhan. Itu do’a yang selalu ku pinta setiap malam, aku ingin sampai pada Ramadhan-Mu.
****
Hari ini Dila sudah boleh pulang dari rumah sakit, setelah satu minggu lebih Dila terbaring karena radang hatinya yang kambuh lagi. “Kamarku, aku rindu sekali”, teriak Dila sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Kamar ini memang tempat yang paling nyaman untukku dan juga Dila. Rumah kami memang sederhana. Tidak ada banyak ruangan, tetapi cukup untuk menampung aku, Dila, ayah, ibu, dan Haikal adik laki-laki kecilku yang bungsu. Dila mengambil dua lembar kertas dan memberikan satu lembarnya kepadaku. “Ayo Kak Asma, tulis terget Ramadhannya disini, mau ku tempel di dinding”, pintanya dengan semangat. Ini adalah hal yang selalu aku dan Dila lakukan setiap menjelang Ramadahan, seperti sudah menjadi tradisi. Biasanya aku yang mengajak Dila, tapi kali ini Dila yang mengajakku. Aku senang sekali. Adik kecilku kini sudah menjadi dewasa, menjadi remaja kelas tiga SMA yang sangat cinta pada agama-Nya, muslimah yang cinta akan Rabb dan Rasul-Nya. Kadang aku malu pada Dila, semangatku tak sebesar dirinya. Ibadahku tak semaksimal dirinya.

Aku bersyukur memiliki adik yang selalu mengingatkanku di jalan-Nya, walaupun usia kami berbeda tujuh tahun, cukup jauh. “Ga sabar pingin cepet-cepet ke sekolah. Agenda Ramadhan udah menanti. Acara bakti sosial, pesantren kilat dan acara-acara lainnya”, dengan semangat Dila mengungkapkanya di depan aku, ibu dan ayah. “Ayah sama ibu ga mengizinkan kamu cape-cape jadi panitia dulu ya”, ayah membalas yang tentunya bukan jawaban yang diharpakan Dila. “Ayah sama ibu ga asyik nih. Sebentar lagi Dila lulus dan bukan pengurus lagi. Lagian ini kan dalam rangka dakwah juga. Dila udah sehat kok yah, bu”, pinta Dila merayu. Akhirnya ayah dan ibu luluh dengan rayuan Dila, tentunya dengan nasihat-nasihat panjang yang hampir Dila dengar setiap harinya. Terutama tentang kesehatannya, Dila selalu bandel untuk minum obat dan menjaga kesehatannya sendiri. Itulah Dila sedikit keras kepala. Tapi menurutku itu sangat wajar. Aku juga pernah merasakannya saat dulu aku masih SMA. Semangatku untuk berdakwah di sekolah berada di puncaknya. Sampai saat ini pun seperti itu. Semangat dakwahku juga tidak akan pernah redup sampai ruh terpisah dari jasadku.
****
Mesjid sangat penuh dengan orang-orang yang merindukan Ramadhan. Karna ini hari pertama tarawih pasti sangat penuh. Sejadah sampai tergelar di teras-teras mesjid. Awalnya saja seperti ini, satu minggu terakhir Ramadhan pasti hanya beberapa shaf saja. Untungnya aku, Dila, dan ibu kebagian di dalam mesjid karena kami datang lebih awal. Suasana seperti ini yang sangat aku rindukan. Tarawih, sahur, buka puasa, tadarus, dan kegiatan lainnya selama Ramadhan. Dua minggu sudah melalui Ramadhan, rasanya tak ingin meninggalkan bulan ini. Kalau Ramadhan seperti ini anak-anak ayah dan ibu jarang sekali ada di rumah, khususnya aku dan Dila. Kami sibuk dengan aktivitas masing-masing. Menjadi panitia kegiatan ini dan itu, mengisi sebuah acara, buka puasa bersama, menghadiri kajian-kajian, atau sekedar berdiam di mesjid untuk meningkatkan ibadah. Aku perhatikan Dila sibuk sekali dengan laptop, buku, Al-Qur’an, dan kertas-kertas yang berserakan begitu saja di atas tempat tidur. Sesekali dia buka Al-Qur’an, kemudian matanya berpindah ke buku, membolak-balikkan kertas-kertas, dan mengetik di laptop. Aku memang sangat dekat dengan Dila. Apapun yang dia alami pasti diceritakan kepadaku.
Rupanya Dila sedang sibuk untuk acara besok, dia ditunjuk menjadi pemateri di acara kajian muslimah disekolahnya. Ya, hal itu juga selalu kulakukan saat aku menjadi seorang pembicara di acara ta’lim atau seminar. Supaya apa yang kita sampaikan tidak hanya sekedar bicara, tetapi ilmu dan maksudnya dapat diterima dengan baik oleh peserta. Menyampaikan ilmu yang benar dan sesuai ajaran agama. Sesekali aku membantu Dila menyiapkan materi dan berdiskusi bagaimana menjadi seorang pembicara yang baik. “Alhamdulillah selesai juga, semoga besok Dila ga gugup ya Kak. Nanti Dila bakal jadi pembicara yang lebih hebat dari Kak Asma. Hehehe”, sambil membereskan laptop, buku, dan kertas-kertas yang berserakan. “Aamiin”, balasku sambil tersenyum.
Sudah pukul setengah 10 malam. Dila memaksaku untuk muroja’ah hafalan Al-Qur’annya. Biasanya kegiatan rutin ini dilakukan usai sholat subuh. Dila menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepadaku, begitupun sebaliknya. “Innallaaha ‘aliimun khabiir”, ayat terakhir di surat Luqman ini mengakhiri hafalan Dila. Dila sangat ingin sekali menyusul hafalanku, terkadang dia suka marah-marah padaku karna belum bisa menyusul juga. Tapi, aku bangga sekali pada adikku ini. Saat aku kelas tiga SMA hafalanku belum sebanyak ini. Sekarang giliranku untuk menyetorkan hafalanku. Bismillah. Hari ini Dila susah sekali dibangunkan sahur. Sudah aku panggil berkali-kali tidak bangun juga. “Dila... Dila...”, kesekian kalinya aku membangunkan Dila sambil menggerakkan tubuhnya.
Pikiranku mulai melayang entah kemana. Apa yang terjadi pada Dila? Ya Allah kenapa adikku ini? Aku langsung memanggil ibu dan ayah. Sekarang ibu yang membangunkan, berharap Dila bangun kali ini. Tapi entahlah tubuhnya tak mau bergerak juga. Aku lihat raut kepanikan di wajah ibu dan ayah. Ayah langsung membawa Dila ke dalam mobil dan kami semua ikut ke rumah sakit. Makanan sahur kami biarkan tertata rapi begitu saja di atas meja makan. Sepanjang jalan air mataku tak hentinya mengalir, begitupun dengan ibu. Aku tau, ayah menyetir mobil dengan hati yang panik. Sedangkan Haikal hanya kebingungan melihat kami semua. Dila langsung dibawa menuju UGD. Kami semua menunggu diluar. Adzan subuh berkumandang, tapi dokter belum juga keluar ruangan. Kami memutuskan untuk sholat subuh dahulu di rumah sakit sambil menunggu bergiliran di depan UGD. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh, kesembuhan yang tidak menyisakan sakitnya. Ya Rabb, hamba memohon kesembuhan atas Dila, adik yang sangat hamba sayangi.
Seorang anak yang begitu mencintai-Mu, agama-Mu, dan Rasul-Mu. Berilah ia kekuatan dalam melawan sakitnya, berilah ia keikhlasan dalam menghadapai sakitnya, berilah ia ampunan atas dosa-dosanya. Ya Rahim, Engkau Maha Penyayang kepada setiap hamba-Mu. Biarkanlah ia mendapatkan kasih sayang-Mu, sehingga ia masih dapat bertahan untuk membela agama-Mu. Ya Aziz, Engkau Maha Perkasa, tiada kuasa selain Engkau, tiada daya dan upaya melainkan keridhoan-Mu. Hamba yakin, kehendak-Mu adalah yang terbaik, takdir-Mu adalah cara-Mu untuk membuat kami senantiasa lebih dekat dengan-Mu. Hamba yang hina ini memohon, bersimpuh di bulan yang mulia ini. Kabulkanlah do’a hamba Ya Rabb. Aamiin. Aku segera menuju UGD lagi, ibu dan ayah sudah masuk ke dalam ruangan. Langkahku seakan berat, detak jantungku memompa dengan kencangnya, nafasku terisak-isak, tubuhku lemas, aku tak sanggup menuju ruangan itu.
Aku hanya berharap saat aku memasuki ruangan, kabar bahagia yang ku dapatkan. Tetapi, do’aku belum dikabul kali ini. Tidak ada yang mengetahui atas rencana-Nya. Kelahiran, kematian dan jodoh adalah rahasia-Nya. Tangis memecahkan kesunyian subuh di ruangan ini. Ibu tak sadarkan diri. Ayah masih menatapi tubuh seorang anak yang kini tinggal jasadnya yang terbaring kaku. Haikal pun ikut menangis. Aku tak bisa berbuat apapun. Kupeluk tubuh adikku dan tak henti-hentinya menangis sambil mendo’akannya. Kenapa secepat ini? Rupanya tadi malam adalah malam terakhir aku mendengar suara indah Dila melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Malam terakhir kebersamaan aku dan Dila. Aku semakin sedih saat ingat bahwa hari ini Dila akan menjadi pemateri acara kajian muslimah disekolahnya. Hari kemenangan pun tiba tanpa kehadiran Dila. Adila Nur Fadhiyah, tinggal namanya yang kini tertera di atas batu nisan. Penyakit radang hatinya tak mampu ia tahan lagi. Ya, Dila terlalu lelah dengan aktivitasnya dan lupa menjaga tubuhnya sendiri.
****
Beberapa minggu setelah kepergian Dila, aku membereskan semua barang-barang yang masih tertata rapi di kamar kami berdua. Target Ramadhan kami waktu itu, masih tertempel di dinding dengan coretan-coretan tanda checklist pertanda target itu sudah kami penuhi. Sayangnya kertas Dila tak sepenuh kertasku, ia terlanjur pergi dan tak bisa memenuhi coretan di atas kertas ini. Aku mulai ikhlas dengan kepergian Dila. Tak baik menangisinya berlarut-larut. Aku sadar, semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya, termasuk Dila. Mau kapanpun dan dimanapun Allah mengambilnya, itu hak-Nya. Tugasku sekarang adalah mendo’akan Dila. Dila wanita yang sholihah. Wanita dengan harapan-harapan luar biasa saat aku tak sengaja membaca tulisan tangannya di sebuah buku kecil berwarna biru. Aku berharap kelak aku akan bertemu dengan Dila kembali di syurga-Nya. Berkumpul dengan kekasih-kekasih Allah di syurga-Nya.

Tidak ada komentar: