cerpen
LANTUNAN AYAT TERAKHIR
Bukan mencekam, hanya suasana hening
dan isakan tangis yang menyelimuti tempat ini. Aku hanya bisa berdo’a berharap
itu semua tidak terjadi pada orang yang kini tengah berbaring disebelahku.
Tubuhnya seolah berbicara kesakitan, namun mata indahnya masih terpejam.
Kutatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, fisiknya terlihat sehat bahkan
sangat sehat. Ku buka tirai berwarna coklat muda di sebelahku. Cuaca di luar
kurang bersahabat. Awan yang menangisi bumi dengan langit yang pucat pasi menyelimutinya.
Mataku tertuju lagi pada sekerumunan orang yang ada dihadapanku.
Ruangan ini seakan menjadi saksi
kesedihan mereka. Semua peralatan medis dilepas dari tubuh sang pasien. Suara
tangis yang makin keras, bahkan ada yang tak sadarkan diri. Seorang perawat
menutupkan selimut ke sekujur tubuh sang pasien. Ya, pasien itu telah
meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Tanpa sadar air mataku
telah menggenang, hatiku seakan merasakan kesedihan mereka. Walaupun sang
pasien bukanlah sanak keluargaku. Aku hanya teringat lagi pada orang yang
berbaring disebelahku. Pikiranku sudah kacau entah kemana, aku jadi semakin
mengkhawatirkan keadaannya. Detik demi detik berjalan sangat menegangkan di
ruangan ini.
Hampir satu jam suasana belum juga
berubah. Berselang menit setelah itu, sang
pasien di pindahkan ke sebuah tempat tidur dan dibawa keluar ruangan. Tak ada lagi sanak keluarga pasien yang tersisa di ruangan ini. Sekarang hanya ada aku dan adikku. Sudah lima hari Dila terbaring di kasur rumah sakit. Usianya bukanlah anak kecil lagi, tapi disaat seperti ini aku selalu menganggap Dila seperti adik kecilku, anak kecilnya ayah dan ibu. Ku baca huruf demi huruf, kata demi kata ayat-ayat cintaNya. Suasana tegang tadi kini mulai mencair.
pasien di pindahkan ke sebuah tempat tidur dan dibawa keluar ruangan. Tak ada lagi sanak keluarga pasien yang tersisa di ruangan ini. Sekarang hanya ada aku dan adikku. Sudah lima hari Dila terbaring di kasur rumah sakit. Usianya bukanlah anak kecil lagi, tapi disaat seperti ini aku selalu menganggap Dila seperti adik kecilku, anak kecilnya ayah dan ibu. Ku baca huruf demi huruf, kata demi kata ayat-ayat cintaNya. Suasana tegang tadi kini mulai mencair.
Dila terbangun dari tidurnya, aku
spontan membantu Dila untuk duduk. Dila tidak mau karena sakit lantas
meninggalkan kewajibannya begitu saja. Aku membantunya ke kamar mandi untuk
mengambil air wudhu, sebentar lagi masuk waktu ashar. Aku masih punya wudhu,
aku langsung menggelarkan sejadah di samping tempat tidur Dila. Dila sholat di
atas tempat tidurnya. Angin yang meniup tirai menemani kami sholat ashar saat
ini. Bermesraan dengan Rabb Pencipta Alam Semesta, itu kata-kata yang pernah
ibu katakan kepada kami. Saat sholat kita berhadapan langsung dengan Dzat
pemilik tubuh ini, berinteraksi langsung lewat bacaan-bacaan sholat yang
dirangkai dengan indahnya. Lewat gerakan-gerakan sholat yang pada fitrahnya
membuat tubuh ini sehat. Ucapan salam mengakhiri sholat kami. Beribu ampunan
dan harapan ku panjatkan dalam setiap do’aku. Begitupun dengan Dila, matanya
terpejam, kepalanya tertunduk ke bawah. Berharap semua ampunan dan harapan
dikabulkan oleh-Nya. Tak terasa, bulan penuh ampunan, bulan dimana nafas
menjadi tasbih, tidur menjadi ibadah, hari-harinya adalah hari yang utama,
detik-detiknya adalah detik yang utama, bulan diturunkannya Al-Qur’an petunjuk
hidup manusia, bulan yang salah satu malamnya terdapat malam yang lebih baik
dari seribu bulan, bulan penuh berkah, bulan terbaik diantara bulan-bulan
lainnya, bulan dimana pintu syurga dibuka dan pintu neraka ditutup rapat, bulan
saat syetan dibelenggu. Ramadhan. Ya, genap satu bulan lagi bertemu dengan
Ramadhan. Wa balighna ramadhan, wa balighna ramadhan, wa balighna ramadhan. Itu
do’a yang selalu ku pinta setiap malam, aku ingin sampai pada Ramadhan-Mu.
****
Hari ini Dila sudah boleh pulang dari
rumah sakit, setelah satu minggu lebih Dila terbaring karena radang hatinya
yang kambuh lagi. “Kamarku, aku rindu sekali”, teriak Dila sambil menjatuhkan
tubuhnya ke atas tempat tidur. Kamar ini memang tempat yang paling nyaman
untukku dan juga Dila. Rumah kami memang sederhana. Tidak ada banyak ruangan,
tetapi cukup untuk menampung aku, Dila, ayah, ibu, dan Haikal adik laki-laki
kecilku yang bungsu. Dila mengambil dua lembar kertas dan memberikan satu
lembarnya kepadaku. “Ayo Kak Asma, tulis terget Ramadhannya disini, mau ku
tempel di dinding”, pintanya dengan semangat. Ini adalah hal yang selalu aku
dan Dila lakukan setiap menjelang Ramadahan, seperti sudah menjadi tradisi.
Biasanya aku yang mengajak Dila, tapi kali ini Dila yang mengajakku. Aku senang
sekali. Adik kecilku kini sudah menjadi dewasa, menjadi remaja kelas tiga SMA
yang sangat cinta pada agama-Nya, muslimah yang cinta akan Rabb dan Rasul-Nya.
Kadang aku malu pada Dila, semangatku tak sebesar dirinya. Ibadahku tak
semaksimal dirinya.
Aku bersyukur memiliki adik yang
selalu mengingatkanku di jalan-Nya, walaupun usia kami berbeda tujuh tahun,
cukup jauh. “Ga sabar pingin cepet-cepet ke sekolah. Agenda Ramadhan udah
menanti. Acara bakti sosial, pesantren kilat dan acara-acara lainnya”, dengan
semangat Dila mengungkapkanya di depan aku, ibu dan ayah. “Ayah sama ibu ga
mengizinkan kamu cape-cape jadi panitia dulu ya”, ayah membalas yang tentunya
bukan jawaban yang diharpakan Dila. “Ayah sama ibu ga asyik nih. Sebentar lagi
Dila lulus dan bukan pengurus lagi. Lagian ini kan dalam rangka dakwah juga.
Dila udah sehat kok yah, bu”, pinta Dila merayu. Akhirnya ayah dan ibu luluh
dengan rayuan Dila, tentunya dengan nasihat-nasihat panjang yang hampir Dila
dengar setiap harinya. Terutama tentang kesehatannya, Dila selalu bandel untuk
minum obat dan menjaga kesehatannya sendiri. Itulah Dila sedikit keras kepala.
Tapi menurutku itu sangat wajar. Aku juga pernah merasakannya saat dulu aku
masih SMA. Semangatku untuk berdakwah di sekolah berada di puncaknya. Sampai
saat ini pun seperti itu. Semangat dakwahku juga tidak akan pernah redup sampai
ruh terpisah dari jasadku.
****
Mesjid sangat penuh dengan orang-orang
yang merindukan Ramadhan. Karna ini hari pertama tarawih pasti sangat penuh.
Sejadah sampai tergelar di teras-teras mesjid. Awalnya saja seperti ini, satu
minggu terakhir Ramadhan pasti hanya beberapa shaf saja. Untungnya aku, Dila,
dan ibu kebagian di dalam mesjid karena kami datang lebih awal. Suasana seperti
ini yang sangat aku rindukan. Tarawih, sahur, buka puasa, tadarus, dan kegiatan
lainnya selama Ramadhan. Dua minggu sudah melalui Ramadhan, rasanya tak ingin
meninggalkan bulan ini. Kalau Ramadhan seperti ini anak-anak ayah dan ibu
jarang sekali ada di rumah, khususnya aku dan Dila. Kami sibuk dengan aktivitas
masing-masing. Menjadi panitia kegiatan ini dan itu, mengisi sebuah acara, buka
puasa bersama, menghadiri kajian-kajian, atau sekedar berdiam di mesjid untuk
meningkatkan ibadah. Aku perhatikan Dila sibuk sekali dengan laptop, buku,
Al-Qur’an, dan kertas-kertas yang berserakan begitu saja di atas tempat tidur.
Sesekali dia buka Al-Qur’an, kemudian matanya berpindah ke buku, membolak-balikkan
kertas-kertas, dan mengetik di laptop. Aku memang sangat dekat dengan Dila.
Apapun yang dia alami pasti diceritakan kepadaku.
Rupanya Dila sedang sibuk untuk acara
besok, dia ditunjuk menjadi pemateri di acara kajian muslimah disekolahnya. Ya,
hal itu juga selalu kulakukan saat aku menjadi seorang pembicara di acara
ta’lim atau seminar. Supaya apa yang kita sampaikan tidak hanya sekedar bicara,
tetapi ilmu dan maksudnya dapat diterima dengan baik oleh peserta. Menyampaikan
ilmu yang benar dan sesuai ajaran agama. Sesekali aku membantu Dila menyiapkan
materi dan berdiskusi bagaimana menjadi seorang pembicara yang baik.
“Alhamdulillah selesai juga, semoga besok Dila ga gugup ya Kak. Nanti Dila
bakal jadi pembicara yang lebih hebat dari Kak Asma. Hehehe”, sambil
membereskan laptop, buku, dan kertas-kertas yang berserakan. “Aamiin”, balasku
sambil tersenyum.
Sudah pukul setengah 10 malam. Dila
memaksaku untuk muroja’ah hafalan Al-Qur’annya. Biasanya kegiatan rutin ini
dilakukan usai sholat subuh. Dila menyetorkan hafalan Al-Qur’annya kepadaku,
begitupun sebaliknya. “Innallaaha ‘aliimun khabiir”, ayat terakhir di surat
Luqman ini mengakhiri hafalan Dila. Dila sangat ingin sekali menyusul
hafalanku, terkadang dia suka marah-marah padaku karna belum bisa menyusul
juga. Tapi, aku bangga sekali pada adikku ini. Saat aku kelas tiga SMA
hafalanku belum sebanyak ini. Sekarang giliranku untuk menyetorkan hafalanku.
Bismillah. Hari ini Dila susah sekali dibangunkan sahur. Sudah aku panggil
berkali-kali tidak bangun juga. “Dila... Dila...”, kesekian kalinya aku
membangunkan Dila sambil menggerakkan tubuhnya.
Pikiranku mulai melayang entah kemana.
Apa yang terjadi pada Dila? Ya Allah kenapa adikku ini? Aku langsung memanggil
ibu dan ayah. Sekarang ibu yang membangunkan, berharap Dila bangun kali ini.
Tapi entahlah tubuhnya tak mau bergerak juga. Aku lihat raut kepanikan di wajah
ibu dan ayah. Ayah langsung membawa Dila ke dalam mobil dan kami semua ikut ke
rumah sakit. Makanan sahur kami biarkan tertata rapi begitu saja di atas meja
makan. Sepanjang jalan air mataku tak hentinya mengalir, begitupun dengan ibu.
Aku tau, ayah menyetir mobil dengan hati yang panik. Sedangkan Haikal hanya
kebingungan melihat kami semua. Dila langsung dibawa menuju UGD. Kami semua
menunggu diluar. Adzan subuh berkumandang, tapi dokter belum juga keluar
ruangan. Kami memutuskan untuk sholat subuh dahulu di rumah sakit sambil
menunggu bergiliran di depan UGD. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh,
kesembuhan yang tidak menyisakan sakitnya. Ya Rabb, hamba memohon kesembuhan
atas Dila, adik yang sangat hamba sayangi.
Seorang anak yang begitu mencintai-Mu,
agama-Mu, dan Rasul-Mu. Berilah ia kekuatan dalam melawan sakitnya, berilah ia
keikhlasan dalam menghadapai sakitnya, berilah ia ampunan atas dosa-dosanya. Ya
Rahim, Engkau Maha Penyayang kepada setiap hamba-Mu. Biarkanlah ia mendapatkan
kasih sayang-Mu, sehingga ia masih dapat bertahan untuk membela agama-Mu. Ya
Aziz, Engkau Maha Perkasa, tiada kuasa selain Engkau, tiada daya dan upaya melainkan
keridhoan-Mu. Hamba yakin, kehendak-Mu adalah yang terbaik, takdir-Mu adalah
cara-Mu untuk membuat kami senantiasa lebih dekat dengan-Mu. Hamba yang hina
ini memohon, bersimpuh di bulan yang mulia ini. Kabulkanlah do’a hamba Ya Rabb.
Aamiin. Aku segera menuju UGD lagi, ibu dan ayah sudah masuk ke dalam ruangan.
Langkahku seakan berat, detak jantungku memompa dengan kencangnya, nafasku
terisak-isak, tubuhku lemas, aku tak sanggup menuju ruangan itu.
Aku hanya berharap saat aku memasuki
ruangan, kabar bahagia yang ku dapatkan. Tetapi, do’aku belum dikabul kali ini.
Tidak ada yang mengetahui atas rencana-Nya. Kelahiran, kematian dan jodoh
adalah rahasia-Nya. Tangis memecahkan kesunyian subuh di ruangan ini. Ibu tak
sadarkan diri. Ayah masih menatapi tubuh seorang anak yang kini tinggal
jasadnya yang terbaring kaku. Haikal pun ikut menangis. Aku tak bisa berbuat
apapun. Kupeluk tubuh adikku dan tak henti-hentinya menangis sambil
mendo’akannya. Kenapa secepat ini? Rupanya tadi malam adalah malam terakhir aku
mendengar suara indah Dila melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Malam terakhir
kebersamaan aku dan Dila. Aku semakin sedih saat ingat bahwa hari ini Dila akan
menjadi pemateri acara kajian muslimah disekolahnya. Hari kemenangan pun tiba
tanpa kehadiran Dila. Adila Nur Fadhiyah, tinggal namanya yang kini tertera di
atas batu nisan. Penyakit radang hatinya tak mampu ia tahan lagi. Ya, Dila
terlalu lelah dengan aktivitasnya dan lupa menjaga tubuhnya sendiri.
****
Beberapa minggu setelah kepergian
Dila, aku membereskan semua barang-barang yang masih tertata rapi di kamar kami
berdua. Target Ramadhan kami waktu itu, masih tertempel di dinding dengan
coretan-coretan tanda checklist pertanda target itu sudah kami penuhi.
Sayangnya kertas Dila tak sepenuh kertasku, ia terlanjur pergi dan tak bisa
memenuhi coretan di atas kertas ini. Aku mulai ikhlas dengan kepergian Dila.
Tak baik menangisinya berlarut-larut. Aku sadar, semua yang ada di dunia ini
adalah milik-Nya, termasuk Dila. Mau kapanpun dan dimanapun Allah mengambilnya,
itu hak-Nya. Tugasku sekarang adalah mendo’akan Dila. Dila wanita yang
sholihah. Wanita dengan harapan-harapan luar biasa saat aku tak sengaja membaca
tulisan tangannya di sebuah buku kecil berwarna biru. Aku berharap kelak aku
akan bertemu dengan Dila kembali di syurga-Nya. Berkumpul dengan
kekasih-kekasih Allah di syurga-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar