BAMBU BUNTU

Minggu, 04 November 2012

Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan Contoh Kasus Poso dan Maluku Konflik Aceh


Konflik-konflik Horizontal di Indonesia dengan Contoh Kasus Poso dan Maluku  


Konflik Poso



Secara awam, banyak disangka konflik Poso berakar pada konflik agama. Namun, tatkala dilakukan kajian mendalam ternyata tidak persis demikian keadaannya. Konflik di Poso bersifat multi akar, satu sama lain berkelindan rumit. Untuk itu di dunia kepustakaan telah banyak hasil penelitian yang menyelidiki akar-akar konflik Poso sekaligus resolusi konfliknya.

Poso adalah sebuah kabupaten di Sulawesi Tengah. Komposisi utama penduduk Poso terdiri atas penduduk asli dan penduduk pendatang. Penduduk asli terdiri atas suku Kaili, Pamona, Mori, dan Wana. Penduduk pendatang berasal dari Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja), Jawa, Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara Timur. Pendatang dari Jawa, Bali, dan Lombok masuk ke Poso lewat program transmigrasi, baik swakarsa maupun mobilisasi pemerintah. Khusus mengenai kaum pendatang, di Poso pun terbentuk sejumlah asosiasi mereka seperti Paguyuban Bugis-Makassar, Paguyuban Masyarakat Jawa, Paguyuban Masyarakat Gorontalo, Paguyuban Masyarakat Bali, Paguyuban Masyarakat Lombok, dan sebagainya kaum pendatang itu. Sesungguhnya aneka paguyuban ini dapat digunakan sebagai jembatan komunikasi antar etnis yang efektif jika perannya dimaksimalkan serta didukung penuh oleh pemerintah selaku regulator politik.


Agama dominan di Poso adalah Islam dan Kristen Protestan, di samping sejumlah pemeluk Kristen Katolik, Hindu, dan Buddha. Proporsi penduduk penganut Kristen Protestan dan Islam relatif berimbang. Agama Islam utamanya dipeluk kaum pendatang Jawa, Lombok, Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar) serta sebagian warga asli yaitu suku Kaili. Warga beragama Kristen umumnya merupakan penduduk asli suku Pamona dan Mori serta para pendatang Manado dan Minahasa (Sulawesi Utara), Toraja, dan Nusa Tenggara Timur. Tabel di bawah memuat komposisi penduduk tersebut.[1]

Penyebab Konflik Poso. Terdapat sejumlah pendapat ahli seputar akar penyebab konflik horisontal di Poso. Pendapat pertama diajukan sosiolog Thamrin Amal Tomagola lewat konsepnya bertajuk piramida bertingkat tiga.[2] Menurut Tomagola, pada tingkat paling dasar terdapat dua transformasi utama yang secara fundamental mengubah wilayah. Pertama, transformasi demografi. Kendati Poso telah dimasuki pendatang Islam dan Kristen sejak prakolonial, proporsi migrasi yang cukup signifikan terjadi di masa Orde Baru pasca pembukaan Sulawesi oleh Jalan Trans-Sulawesi, di samping pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara baru. Para pendatang datang dari utara dan selatan Sulawesi. Akibatnya, proporsi pendatang, terutama yang menganut Islam, semakin membesar mendekati proporsi umat Kristen baik di Poso Pesisir maupun di Pamona Selatan. Umat Kristen yang ada di tengah wilayah Poso mulai merasa terjepit dan terancam.[3] Kedua, transformasi ekonomi. Kegiatan ekonomi perdagangan secara perlahan mengambil alih peran ekonomi pertanian. Sektor perdagangan yang berpusat di perkotaan lebih banyak dikuasai pendatang beragama Islam. Kenyataan ini memperkuat sentimen keterdesakan penduduk asli yang berbasis pertanian yang kebetulan beragama Kristen.



Pada lapisan tengah piramida beroperasi sejumlah faktor suku dan agama yang berkelindan dengan faktor-faktor politik. Dua transformasi di lapisan bawah piramida lalu merembes ke atas dan menempatkan penganut Islam dan Kristen berbasis suku secara diametral. Transformasi struktural masuk dalam kesadaran kolektif masing-masing umat beragama. Mulai lapisan tengah piramida konflik inilah warga setiap agama mulai bertarung. Pertama, pertarungan dilakukan dalam arena politik dengan memperebutkan berbagai posisi strategis, baik dalam partai-partai politik maupun dalam pemerintahan. Selama masing-masing pihak berhasil meraih posisi strategis dalam power-sharing secara berimbang, pertarungan tidak meletup dalam bentuk konflik fisik. Berakhirnya masa jabatan bupati lama dan dimulainya pemilihan bupati (dan sekwilda baru) membuka arena pertarungan baru yang gagal diselesaikan secara politik. Kedua, pertarungan politik yang merambat ke bawah, dari elit ke tengah-tengah massa. Situasi ini menciptakan ketegangan tinggi (high tension) antara kedua komunitas – pendatang dan lokal – yang masing-masing menggunakan simbol agama sebagai identitas.

Puncak piramida diisi faktor-faktor penyulut konflik (aktivitas provokator) serta stereotip-stereotip labeling psikologi sosial serta dendam yang semakin menguat seiring bertambahnya durasi kekerasan. Perkelahian antar pemuda dari kedua pihak merupakan pemicu yang meletupkan ketegangan dan potensi konflik yang mengendap sebelumnya. Terlebih, ini ditambah kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru membuat suhu konflik meningkat tajam dan keharmonisan hidup Poso adalah pengganti tak ternilai harganya. Ketika korban berjatuhan, spiral kekerasan pun lepas kendali.  Piramida konflik Poso dikelilingi faktor lingkungan yang mempengaruhi intensitas konflik. Menurut Tomagola, lingkungan ini berupa aneka faktor kontekstual yang memfasilitasi terjadinya konflik komunal, yang terdiri atas faktor berkonteks lokal, nasional, dan internasional. Konteks lokal terdiri atas: Komposisi dan konfigurasi suku-suku yang bermukim di Poso; Pola pemukiman eksklusif dan tersegregasi menurut garis suku yang tumpang tindih dengan garis agama, pola tempat tinggal yang membedakan kita dan mereka, persaingan sengit antara lembaga-lembaga agama dalam memperluas teritori masing-masing dan membiakkan pengikut (Islamisasi, Kristenisasi), dan; Hancurnya lembaga-lembaga adat karena ulah pemerintah pusat dan sikap tidak bersahabat yang diperlihatkan oleh berbagai lembaga agama.

Konteks nasional terdiri atas tiga kondisi. Pertama, semakin dominannya para politisi Islam berbasis perkotaan di panggung perpolitikan nasional. Para politisi Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan) yang didominasi tokoh asal Bugis semakin menguat posisinya mengitari Habibie (presiden RI waktu itu). Kedua, perkembangan di panggung nasional memberi angin dan peluang para politisi Islam berbasis perkotaan yang berasal dari suku Bugis berperan di Sulawesi secara keseluruhan. Ketiga, mirip dengan kecenderungan Golkar merangkul para kiyai di Banjar (Kalimantan Selatan), di Poso juga terjadi hal yang sama. Dalam pemilihan Bupati Poso, jelas Golkar tidak akan mendukung calon PPP yang berbasis Islam pedesaan dan lebih memilih mendukung Abdul Muin Pusadan yang terhitung Islam modernis.  Faktor internasional berwujud ke dalam dua bentuk. Pertama adanya upaya pemanfaatan medan konflik Poso oleh jaringan Islam regional, yang menggunakannya sebagai training ground sekaligus mekanisme rekrutmen anggota baru jaringan mereka. Kedua, bias peliputan pers internasional yang merugikan umat Islam di Poso maupun di Maluku karena dikesankan seolah umat Islam-lah yang secara unilateral beraksi menyerang umat Kristen di wilayah itu.   Penyelesaian Konflik Poso. Menurut catatan Jusuf Kalla, konflik Poso dimulai sejak 1998 dan hingga 2001-2002, sehingga berlangsung kurang lebih tiga tahun. Jusuf Kalla yang saat itu menjabat Menkokesra di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri juga mencatat, konflik Poso yang awalnya masalah sosial-politik lokal dan konflik anak muda, berubah menjadi konflik agama yang sangat melebar.[4] Awaludin menulis, akibat berlarutnya konflik Poso menyebabkan opsi resolusinya menyempit menjadi tiga bagi kelompok-kelompok yang bertikai, meliputi:[5] 

§  Konflik berlangsung terus dalam bentuk perang gerilya dan pembakaran dengan korban dan penderitaan di masing-masing pihak;
§  Polri dan TNI bertindak keras; dan
§  Penyelesaian damai dengan masing-masing pihak adalah dengan duduk berunding dan kemudian mematuhi semua hasil perundingan. Pengungsi pulang dan pemerintah membantu rehabilitasi sarana serta rumah-rumah ibadah.
Tentu saja, pilihan yang paling manusiawi adalah opsi ketiga. Opsi pertama dan kedua memiliki cost sosial dan ekonomi yang sangat besar, baik bagi masyarakat Poso sendiri maupun pemerintah. Deklarasi Malino I yang ditandatangani pihak-pihak yang berseteru pada tanggal 20 Desember 2001 mengakhiri konflik tersebut. Poso mulai berbenah, melakukan rehabilitasi pasca konflik.

2. Konflik di Kepulauan Maluku 
Pasca transisi politik 1998, Maluku mengalami pemekaran. Lewat Undang-undang Nomor 46 tahun 1999, provinsi Maluku Utara (Malut) resmi berdiri pada 12 Oktober 1999. Malut lalu dibagi ke dalam kabupaten/kota seperti: (1) Halmahera Barat, ibukota Jailolo; (2) Halmahera Tengah, ibukota Weda; (3) Kepulauan Sula, ibukota Sanana; (4) Halmahera Selatan, ibukota Labuha; (5) Halmahera Utara, ibukota Tobelo; (6) Halmahera Timur, ibukota Maba; (7) Ternate, ibukota Ternate; dan (8) Tidore Kepulauan, ibukota Soasiu. Sementara itu, Maluku terdiri atas sebelas kabupaten/kota, yaitu: (1) Kota Ambon; (2) Kota Tual; (3) Maluku Tengah, ibukota Masohi; (4) Maluku Tenggara, ibukota Langgur ; (5) Maluku Tenggara Barat, ibukota Saumlaki; (6) Aru, ibukota Dobo; (7) Buru, ibukota Namlea; (8) Seram Barat, ibukota Piru; (9) Seram Timur, ibukota Bula; (10) Maluku Barat Daya, ibukota Wonreli; (11) Buru Selatan, ibukota Namrole.

Deskripsi Konflik. Fase awal erupsi konflik Maluku (Ambon) pecah 19 Januari 1999 setelah dipicu perkelahian supir bus beretnis Ambon beragama Kristen dengan penumpang beretnis Bugis beragama Islam.[6] Konflik semakin intensif pada Juli 1999 dan ekstensif ke bagian-bagian provinsi Maluku lainnya hingga Januari 2000. Mulai saat itu, praktis Ambon terbelah menjadi zona-zona yang digarisi anutan agama.[7] Pada Mei 2000, konflik Ambon memasuki babak baru lewat dua perkembangan. Pertama, keterlibatan kekuatan bersenjata ke dalam kedua kelompok. Kedua, masuknya Lasykar Jihad dari Jawa yang berniat membantu saudara Muslimnya yang tertekan dalam konflik. Dengan ini, konflik Ambon bermetamorfosis menjadi konflik bersenjata di mana peralatan amatir seperti bom-bom rakitan dan senjata buatan digantikan dengan persenjataan profesional. Pihak Muslim yang awalnya defensif kini ofensif. Akibatnya, pada Juni 2000 Maluku dimasukkan ke dalam Darurat Sipil. Ribuan tentara dan Brimob diturunkan ke provinsi ini guna mengatasi konflik.  Lewat perjanjian damai Malino II Pebruari 2002, pihak-pihak yang bertikai sepakat menjalin perdamaian. Kendati demikian, erupsi-erupsi kecil tetap saja terjadi, terutama di Ambon. Misalnya, pada April 2004 saat empat puluh orang meninggal dalam kerusuhan mengiringi penaikan bendera RMS di kediaman Alex Manuputty (pemimpin Front Kedaulatan Maluku). Namun, hal yang cukup melegakan adalah, erupsi-erupsi yang muncul pasca perjanjian damai Malino II tidak bereskalasi sebanding erupsi sebelum Deklarasi.  Di provinsi Maluku Utara (Malut), durasi konflik utama relatif lebih singkat ketimbang Maluku. Erupsi-erupsi konflik terutama mengiringi pemisahan Malut dari Maluku menjadi provinsi mandiri. Konflik di Malut dibayangi rivalitas lama antara Kesultanan Ternate dengan Tidore. Awalnya, pada bulan Agustus 1999 konflik terbatas muncul di daerah Kao antara penduduk lokal dengan pemukim Makian. Pokok konflik berkisar pada kendali atas Malifut, kecamatan yang baru terbentuk. Lewat intervensi Sultan Ternate, konflik segera padam. Namun, saat provinsi Malut resmi terbentuk pada Oktober 1999 konflik kembali mencuat. Konflik yang belakangan ini juga lalu menyebar ke Ternate dan bagian lain provinsi baru. Sama seperti di Ambon, erupsi-erupsi konflik Malut pun secara umum seolah bernuansa agama dan etnis, kendati khusus di Malifut, konflik lebih banyak bernuansa etnis ketimbang agama.

Akibat gencarnya perang provokasi lewat aneka selebaran, pamflet, dan propaganda kedua kelompok, aliansi para elit di sekitar rival politik Sultan Ternate membentuk Tentara Putih, yang berdiri di sisi kelompok Muslim.[8] Mereka berhasil mendesak kelompok Kristen ke utara Ternate, lalu menyeberang ke Sulawesi Utara. Di Ternate, kelompok Kristen meminta suaka kepada Sultan Ternate yang hasilnya terbentuklah Tentara Kuning yang sifatnya lintas agama. Tentara Putih dikomposisikan kelompok-kelompok etnis asal Tidore, Makian, dan kaum migran dari Gorontalo. Tentara Kuning dikomposisikan para pendukung Sultan Ternate, elemen pendukung Golongan Karya, dan kalangan Kristen dari Halmahera yang secara tradisional adalah aliansi politik Sultan Ternate. Pertempuran kedua kelompok tentara pecah pada Desember 1999.

Setelah konflik berlarut, muncul isu bahwa pasukan jihad akan tiba di Galela (Halmahera), wilayah yang penduduknya mayoritas Muslim. Menurut isu yang lalu muncul mengiringi, pasukan ini akan membela warga Muslim yang tertekan di Tobelo. Akibatnya, pada bulan Desember 1999, pejuang kelompok Kristen mengalir dari Kao ke Tobelo dan menyerang kaum Muslim di sana. Di hari kemudian, kekerasan meledak di Galela, menyebar hingga Bacan, Obi, dan Morotai, Ibu, Sahu, dan Jailolo. Di Halmahera Selatan, kekerasan pecah Mei 2000 kala pasukan jihad (lokal, Ternate, Tidore) mengalami bentrokan di perkampungan Kristen. Akhirnya pada Juni 2000 Malut diberlakukan sebagai Darurat Sipil. Tentara tambahan dari pemerintah pun masuk ke provinsi baru ini. Hal yang melegakan adalah, konflik berhasil dilokalisir dan Malut relatif berangsur tenang sejak pemerintah dan para tokoh masyarakat terlibat proaktif mencari resolusi konflik.
Penyebab Konflik. Penyebab konflik di Maluku dan Maluku Utara dibagi menjadi tiga, seperti termuat dalam bagan.[9] Pertama, sebab-sebab struktural yang terdiri atas melemahnya struktur kekuasaan tradisional, ketimpangan horisontal, dan dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru.[10] Kedua, sebab-sebab langsung yang terdiri atas krisis ekonomi dan proses desentralisasi serta demokratisasi. Ketiga, sebab-sebab pemicu atau trigger, yang terdiri atas perseteruan politik lokal dan aktivitas gang-gang kriminal (di Ambon) serta selebaran dan pampflet gelap (di Malut).[11]
Sebab-sebab Struktural. Struktur kekuasaan tradisional di Maluku (Ambon) misalnya pela-gandong dan sasi. Pela-gandong adalah sumpah yang memungkinkan dua desa di Ambon untuk saling membantu. Dengan pela-gandong, penduduk kedua desa menggunakan Ambon sebagai sebagai atribut utama hubungan sosial. Sejak 1974, sistem kekuasaan tradisional di Ambon memudar seiring diberlakukannya undang-undang pemerintah pusat yang mengatur tentang desa. Lurah (kepala desa) menggantikan posisi negeri sebagai entitas geografis dan raja sebagai kepalanya. Pemberlakuan tata admnistrasi pemerintahan baru ini juga mengubah kohesi sosial masyarakat Ambon, yang perubahannya telah beroperasi sejak dua dekade sebelum erupsi kekerasan. Kekosongan kohesi sosial tradisional ini dengan mudah diisi ideologi nasional Indonesia (Pancasila) yang bersaing dengan akselerasi Kristenisasi dan Islamisasi di kalangan masyarakat Maluku. Masalah agama lalu menjadi ideologis sehingga mampu membelah masyarakatnya.

Di Maluku Utara, konflik cenderung sepi dan hubungan antar kelompok relatif baik karena di wilayah ini lembaga adat masih kuat mengkohesi masyarakat. Kohesi tradisional ini tercermin pada masih diakuinya aliansi-aliansi politik tradisional.[12] Sultan Tidore memiliki aliansi dan demikian pula Sultan Ternate. Bahkan, di Halmahera Timur (kecamatan Maba Selatan), sejumlah desa Kristen justru dilindungi oleh kelompok Muslim, dan diketahui bahwa wilayah tersebut banyak dihuni penduduk asli yang setia kepada Sultan Tidore. Ketika konflik muncul, kesepakatan damai dapat segera dibuat lewat intervensi para kepala desa dan pemimpin adat lokal dari pihak yang bertikai.

Ketimpangan ekonomi juga merupakan sebab struktural, yang kendati sifatnya tidak langsung, memberi sumbangan besar kepada erupsi konflik. Sejak era Belanda, kalangan Kristen Ambon menikmati privilese sosial, ekonomi dan politik. Perimbangan privilese ini terus bertahan hingga saat Suharto kehilangan dukungan sebagian perwira militer di tingkat pusat. Untuk mengisi kekosongan dukungan, Soeharto mencari gantinya pada kelompok Islam (modernis) dalam ICMI. Bukti yang paling meyakinkan adalah diangkatnya Habibie sebagai wakil presiden sejak 1993.

Perubahan pola kekuasaan neopatrimonial tingkat pusat, posisi pimpinan daerah menjadi sangat penting mengingat distribusi kekayaan daerah banyak yang masuk ke tingkat kabupaten/kota. Dalam proses distribusi di daerah, peran gubernur menjadi signifikan. Di Maluku, pergeseran elit – dan kemudian distribusi sumber daya daerah – diindikasikan dengan diangkatnya Aqib Latuconsina sebagai gubernur Ambon. Figur Aqib dianggap merepresentasikan kalangan Muslim dan sipil. Lewat pengaruh Aqib, maka pada tahun 1996 seluruh bupati di Maluku berasal dari kalangan Muslim: Bahkan di wilayah-wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Kalangan Kristen di Maluku melihat status quo keuntungan ekonomi mereka menjadi labil. Mereka juga mempersepsikan banyak keuntungan ekonomi yang selama ini dinikmati akan jatuh kepada kelompok migran Muslim dari Sulawesi dan Jawa. Namun, pembalikan posisi ekonomi tidaklah revolutif melainkan berangsur-angsur, dan sesungguhnya telah jauh berlangsung sebelum Aqib menjadi Gubernur Maluku. Misalnya, disparitas pendidikan antar kelompok di Maluku yang pada 1991 berada di atas level 1,8 berubah menjadi di bawah 1,3 dan terus bertahan hingga 1997. Disparitas perumahan, yang berada di posisi 1,6 pada 1991, berubah menjadi di bawah 1,2 pada 1994 dan sedikit di bawah 1,1, pada 1997.[13] Kalangan Kristen di Ambon pun cukup menerima karena peningkatan tersebut merupakan bukti keberhasilan ekonomi daerah secara keseluruhan.

Namun, terdapat lonjakan dalam hal velocity (kecepatan) proses pembalikan keberuntungan ekonomi yang momentumnya berbarengan dengan peralihan politik di tingkat pusat: Dari kalangan sekular kepada kelompok Islam. Munculnya perimbangan baru level politik nasional berimbas pada tergesernya posisi kelompok Kristen di Ambon – yang awalnya dominan – menjadi setara. Hal ini memancing kegelisahan sosial dan ekonomi, terlebih kelompok Kristen memandang ketidakpastian status mereka di masa mendatang akibat kepemimpinan Aqib Latuconsina yang mereka anggap imbalance.

Situasi agak berbeda terjadi di Malut, di mana komposisi kelompok Islam meliputi 85% total populasi, sementara sisanya sebagian besar Protestan. Selain itu, sama seperti Maluku, di Malut juga banyak etnis-etnis migran seperti Jawa, Buton, Minang, Bugis, Gorontalo, dan Sunda. Tahun 1970 terjadi relokasi suku Makian (kebetulan beragama Islam) ke lokasi pemukiman suku Kao (kebetulan beragama Kristen) akibat aktivitas gunung berapi di Pulau Makian. Relokasi ini memunculkan kecurigaan di kalangan suku Kao bahwa terdapat agenda rahasia Islam – Islamisasi – di wilayah Kao. Kecurigaan ini semakin mengental sejak Soeharto mengalihkan dukungan politik kepada kelompok Islam modernis (dan setelah itu, rezimis menurut Robert W. Heffner). Ketegangan antar suku menguat kala pemerintah – tanpa rembug dengan wakil-wakil suku – membentuk kecamatan baru, Malifut. Kecamatan tersebut dimaksudkan untuk dihuni para migran dari suku Makian yang sebelumnya tinggal di pemukiman Kao. Hal ini dipandang suku Kao sebagai pengistimewaan atas suku Makian yang Muslim di mata pemerintah. Kekecewaan menjadi wajar karena wilayah yang digunakan untuk kecamatan Malifut adalah lima desa yang secara adat dibawah kekuasaan suku Kao. Selain itu, pembentukan kecamatan baru tersebut dianggap akan menghambat akses suku Kao ke arah selatan, ke arah saudara Kristiani mereka.

Sebab struktural terakhir adalah dampak kekuasaan otoritarian Orde Baru. Selama Orde Baru, pemerintah selalu menunjuk kalangan Kristen dan Muslim dari Jawa untuk menjadi pimpinan politik di Maluku. Kondisi ini memunculkan keuntungan relatif kalangan Kristen di Maluku, sekaligus ketidakberuntungan relatif kalangan Islamnya. Kepemimpinan politik lokal di Maluku pun mengikuti garis neopatrimonial dari Jakarta.[14] Dengan kecepatan tinggi perimbangan ini berubah, saat sejumlah perwira tinggi ABRI (dikenal sebagai ABRI merah-putih) mulai kritis terhadap Soeharto (terutama perilaku bisnis anak-anaknya). Untuk itu, Soeharto menjadi dukungan pengganti dengan merangkul Muslim modernis yang diwaliki kelompok ICMI. Di kalangan Angkatan Bersenjata, Soeharto mengimbangi kekuatan ABRI merah-putih dengan mendekati ABRI hijau (ABRI yang santri atau dekat dengan kalangan Islam). Ini adalah kebiasaan Soeharto yang baru untuk mengimbangi dan memecah kelompok-kelompok yang kritis kepadanya.

Hal yang kurang disadari Soeharto adalah dampak dari peralihan politik istana ini di daerah. Hubungan neopatrimonial dan sentralisasi kekuasaan, membuat apapun yang terjadi di pusat lekas terasa efeknya di daerah. Terjadi revolusi politik di Maluku. Gubernur yang biasanya dijabat kalangan militer dan beragama Kristen digantikan dengan yang Muslim dan non-militer. Kelompok Islam menganggap peralihan politik istana sebagai kesempatan mereka menciptakan perimbangan baru atas keuntungan relatif di Maluku. Kalangan Kristen berada dalam posisi yang defensif dan galau. Sebuah kondisi matang untuk erupsi konflik telah tercipta.

Di Maluku Utara kondisi sedikit berbeda. Sultan Ternate Muddafar Sjah (kebetulan anggota DPR dari Golkar) mengkombinasikan kuasa politik formal dan informal. Ternate berhasil menjaga kelestarian kesultanan turun-temurun. Konflik Malifut pun tidak lepas dari intervensi sultan. Di Malifut, terdapat tambang emas yang digarap oleh perusahaan Australia, New Crest Mining. Dengan terbentuknya Malifut, akan terjadi perubahaan tata-kelola distribusi keuntungan dari tambang tersebut. Inilah katalisator kuat pemicu konflik di kalangan Makian dan Kao, dan lebih jauh antara elit-elit politiknya.[15]

Rival politik Sultan Ternate adalah Bahar Andili, birokrat keturunan Gorontalo dan Makian. Bahar Andili punya dukungan kuat dari PPP (partai berbasis Islam) dan oleh kelompok Makian dianggap representasi Islam di dalam politik. Mereka memandang Sultan Ternate lebih condong pada kelompok Kristen, karena aliansi adat tradisionalnya. Dukungan atas Bahar Andili juga berasal dari Tidore, Makian, Bacan, dan Kayoa yang diantaranya sama-sama memiliki kisah masa lalu atas Ternate. Dukungan pada Sultan Ternate, selain Golkar, juga datang dari sebagian besar penduduk Islam dan Kristen di Halmahera Utara. Kegagalan Sultan Ternate dalam meresolusi konflik Malifut diantaranya muncul akibat pandangan orang Makian bahwa sultan lebih pro kelompok Kao.

Ketimpangan sosial di Maluku Utara sekaligus ada baik dalam pola tradisional maupun migran. Sultan mewakili kalangan tradisional yang lintas sekat keagamaan, sementara kalangan migran Muslim berkumpul di kelompok Bahar Andili. Aliansi sultan terkemuka dalam pembentukan tentara kuning yang bercorak lintas agama, sementara aliansi Bahar Andili tercermin dalam tentara putih yang menggunakan simbol-simbol Islam.

Krisis ekonomi merupakan fenomena umum di Indonesia secara keseluruhan. Pada umumnya, dampak langsung krisis ekonomi kurang terasa baik di Maluku maupun Malut. Memang terjadi penurunan GDP Maluku sebesar 6% dalam periode 1997 – 1998. Namun, penurunan ini terjadi lintas agama dan aneka etnis yang ada di Maluku. Krisis ekonomi, kendati harus dilakukan studi lebih lanjut, dipandang sebagai penguat kompetisi sumber daya ekonomi antar kelompok-kelompok yang bertikai di Maluku.[16]

Desentralisasi dan demokratisasi, punya pengaruh kuat atas erupsi konflik baik di Maluku maupun Malut. Di Maluku, desentralisasi dan demokratisasi mendorong munculnya ketidakpastian di kalangan status quo Maluku. Desentralisasi berakibat pada makin signifikannya peran kekuatan kelompok daerah (politik lokal) dalam mengontrol sumber-sumber daya alam Maluku. Demokratisasi memungkinkan penduduk daerah sendiri yang menentukan kepada siapa kontrol daerah akan diberikan, yang terutama diberikan kepada elit-elit asli di dalam daerah. Desentralisasi dan demokratisasi mendorong menguatnya mobilisasi massa mengikuti garis agama dan suku.

Di Malut, tambang emas di Malifut adalah bukti kuatnya faktor desentralisasi politik dalam konteks nasional atas konflik. Pembentukan kecamatan Malifut dipandang sebagai upaya salah satu kelompok (Makian) di daerah untuk memonopoli trickle-down-effect tambang emas yang dikelola New Crest Mining asal Australia. Pembentukan Malifut untuk Makian tidak diiringi pemberian kesempatan serupa bagi niat kelompok Kao untuk membentuk distrik sendiri. Kecemburuan dan kesan pengistimewaan suku mengentara dalam kasus Malifut, terutama dari pandangan Suku Kao sebagai penduduk asli. Bahar Andili selaku orang Makian dan representasi kalangan migran, dianggap berada di belakang pembentukan Malifut, yang lalu mendorong Sultan Ternate melibatkan diri ke dalam konflik Malifut.

Trigger atau pemicu konflik, baik di Maluku ataupun Malut tergolong sama. Di Maluku, konflik terbilang merembet cukup cepat. Kecepatan ini dipicu oleh kondisioning yang matang berupa rivalitas yang terjadi antara Aqib Latuconsina (representasi Muslim Maluku) dengan Freddy Latumahina (representasi Kristen Maluku). Gerry van Klinken mencatat, kedua saingan tersebut memiliki jaringan klien agama dan kelompok kriminalnya masing-masing. Keduanya telah pula menyusun langkah-langkah antisipatif dalam menyikapi insiden antara supir dengan penumpang di awal episode konflik Ambon ini.[17]

Di Malut, pengaruh konflik Ambon yang mengkatalisasi konflik ada dalam aras sentimen agama. Namun, tulis Graham Brown, penyebab utama erupsi adalah peredaran pampflet-pampflet gelap yang diproyeksikan kepada pimpinan sinode Gereja Protestan Maluku yang dituduh mengajak perang suci umat Kristen melawan umat Islam.[18] Peran provokator yang mirip dengan di Ambon dicurigai mengambil peran besar dalam konflik Malut, dan diyakini berasal dari agen yang sama.
Penyelesaian Konflik. Deklarasi Perdamaian Malino II merupakan tonggak penting dalam penyelesaian konflik Maluku dan Malut. Sebelum sampai kepada deklarasi, telah muncul inisiatif sejumlah kalangan di Maluku dan Malut sendiri untuk mengadakan penghentian kekerasan dan penciptaan perdamaian.[19]

Perdamaian Malino II tanggal 12 Pebruari 2002, merupakan upaya gabungan wakil-wakil masyarakat Maluku dari kelompok Islam dan Kristen, pemerintah pusat (diwakili Jusuf Kalla dan SBY), serta pemerintah daerah untuk menciptakan perdamaian. Tiga puluh lima wakil kelompok Islam dan tiga puluh lima wakil kelompok Kristen menandatangani deklarasi yang draft-nya disusun selama tiga hari di pegunungan sejuk Malino, Sulawesi Selatan. Bukti kehendak rakyat Maluku untuk damai adalah berlangsungnya Pemilu 2004 yang hampir tanpa masalah. Pemilu ditujukan untuk mencari pemimpin yang mampu membangun Maluku, apapun garis etnis dan agamanya. Demikian pula di Malut, di mana masyarakatnya berhasil menyelenggarakan pilkada gubernur secara damai pada 28 Oktober 2002 di mana Thaib Armayin dan Madjid Abdullah terpilih selaku pemimpin daerah Malut.

Nils Bubant menyatakan, aneka kekerasan yang terjadi di Maluku dan Malut bukanlah disebabkan oleh agama maupun etnisitas, melainkan proses desentralisasi. Kekuasaan Orde Baru yang berdurasi lama dan sentralistik membuat daerah kehilangan kemampuan aslinya dalam mengelola kuasa politik lokal secara mandiri. Dengan desentralisasi, kohesi politik yang alamiah lambat-laun akan terbentuk dan mampu menjembatani hubungan etnis dan agama secara lebih harmonis.[20]



1. Konflik Aceh 

Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang.[1] Akar konflik berkait erat dengan hubungan kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional bagi kemerdekaan Indonesia.[2] Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin Soekarno.[3] Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916, Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formal-modern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia.[4]

Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya. Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan pendidikan.[5]

Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh. 

Konflik kembali meruyak setelah pada tahun 1974 pemerintah pusat menerbitkan UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No.5 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa. Kedua undang-undang ini dianggap mengancam kekhasan sosio-kultural Aceh. Struktur administrasi baru masyarakat Indonesia juga harus diterapkan di Aceh sehingga merombak lembaga-lembaga adat yang telah ada sejak lama.[6] Untuk menjamin penetrasi UU tersebut, pemerintah pusat menciptakan jaringan elit lokal sebagai perpanjangan tangan dari elit pusat. 

Selain problem identitas kultural, Aceh pun mengeluhkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi. Tekanan pemerintah Orde Baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi mendorong eksploitasi besar-besaran atas pabrik LNG Arun dan pupuk Iskandar Muda. Lewat eksploitasi tersebut, Indonesia mampu keluar selaku eksportir LNG terbesar dunia dan 90% hasil pupuk yang dihasilkannya di Aceh mampu digunakan sebagai komoditas ekspor penghasil devisa negara. Eksploitasi lalu mendatangkan masalah saat terjadi reduksi pengembalian profit ekonomi dari pusat ke Aceh. Tahun 1993, LNG Aceh menyumbang 6.664 trilyun rupiah pada pemerintah pusat, sementara yang kembali ke Aceh hanya 453,9 milyar rupiah. Lebih ironis lagi, survey BPS 1993 menemukan fakta bahwa Aceh memiliki desa miskin terbesar di Indonesia yaitu 2275 desa.[7]

Gencarnya pembangunan pabrik untuk eksploitasi alam berdampak pada meningkatnya kaum pendatang ke Aceh, utamanya dari Jawa. Para pendatang ini dianggap – dari kamata para pengelola pabrik – lebih profesional. Ketimpangan rekrutmen pekerja ini mendorong munculnya prejudis di kalangan Aceh atas pendatang sehingga memperkuat jargon anti Jakarta yang terkembang dalam Gerakan Aceh Merdeka. Di lain pihak, masyarakat Aceh secara rasional mulai menyadari bahwa hasil tambang (gas dan minyak bumi) mereka telah tereksploitir dan profitnya lebih banyak dibawa ke pusat ketimbang dikembalikan ke daerah. Bukti bahwa konflik Aceh belum usai adalah seorang tokoh Aceh, Hasan Datuk di Tiro, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 1976, dengan propaganda anti Jawa.[8]Berdirinya GAM merupakan sebuah katup pelepasan rangkaian faktor pendorong konflik di Aceh. Manifestasi konfliknya bersifat vertikal, yang direpresentasikan konflik militer antara GAM versus ABRI (saat itu). Lebih tinggi lagi, konflik daerah versus pusat. Dalam konflik ini, Aceh dimasukkan ke dalam Daerah Operasi Militer (DOM). Sikap pusat ini bukannya melemahkan GAM, justru sebaliknya, memperkuat justifikasi atas eksisnya eksploitasi pusat terhadap Aceh dan membenarkan gerakan mereka. 

Pemberlakuan DOM mengindikasikan resolusi konflik yang state-centric, di mana kekuatan militer digelar sejak tahun 1970-an. Resolusi konflik tidak kunjung meredakan konflik, karena sifatnya reaktif, tidak menyentuh akar konflik, dan didominir penggunaan kacamata pemerintah pusat. Hanya penyelesaian bersifat dialogis, tenang, dan saling pengertian saja yang mampu menyelesaikan larutan konflik Aceh. Lambang Trijono menulis, setelah mengambil momentum bencana Tsunami Aceh 2004, pemerintah Indonesia kembali membuka dialog perdamaian dengan tokoh-tokoh GAM.[9] Puncaknya adalah penandatanganan Memorandum of Understanding (MOU) oleh Pemerintah Republik Indonesia (diwakili Menkumham Hamid Awaludin), Gerakan Aceh Merdeka (diwakili Malik Mahmud selaku Pimpinan Delegasi GAM) dan Martti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia, ketua dewan direktur Crisis Management Initiative sebagai fasilitator) pada hari Senin tanggal 5 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. 

Dalam butir 1.1.2.a MOU tersebut, Aceh berwenang mengatur semua sektor publik kecuali hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasan kehakiman, dan kebebasan beragama yang seluruhnya tetap berada di tangan pemerintah pusat.[10] Selain itu, pasal 1.1.4. mengakui batas wilayah propinsi Aceh sesuai yang berlaku sejak 1 Juli 1956. Juga disepakati bahwa Qanun Aceh akan kembali disusun guna menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh. Aceh juga berhak menggunakan simbol-simbol bendera, lambang, dan himne sendiri. 

Di bidang ekonomi, Aceh – secara unilateral – berhak memperoleh dana lewat hutang luar negeri, bahkan menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia). Aceh juga berhak menguasai 70% semua hasil yang diperoleh dari cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya di wilayah darat dan laut Aceh, baik saat penandatangangan MOU maupun di masa mendatang. 

Dalam masalah keamanan, GAM sepakat untuk mendemobilisasi 3.000 pasukan militernya, dengan mana anggota GAM tidak lagi menggunakan seragam, emblem, atau simbol militer mereka sendiri setelah penandatangan Nota Kesepahaman. GAM juga sepakat menyerahkan persenjataan sejak 15 September 2005 dan selesai 31 Desember 2005. Jumlah tentara organik pemerintah yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang. 

Kini, merupakan tugas seluruh pihak, baik pemerintah daerah Aceh, rakyat Aceh, pemerintah Republik Indonesia, dan seluruh warganegara Indonesia untuk mempertahankan keberhasilan perdamaian yang telah dicapai dengan susah payah. Kini Aceh harus membangun, terlebih setelah hentakan Tsunami dan konflik berlarut-larut yang terjadi selama ini. 




2. Konflik Papua 

Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini. 

Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :[12]

1.      Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda, 
2.      Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka, 
3.      Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.[13]

Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM. 

Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata.[14] Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.[15]

Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua.[16] Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu. 

Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan.[17] Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.[18]




3. Konflik Maluku 

Hasbollah Toisuta menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda dengan konflik Aceh. Pertama, di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa agama. Kedua, di Maluku juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus pemerintah pusat.[19] Konflik yang disoroti dalam tulisan ini adalah jenis yang kedua, konflik vertikal vis a vis pemerintah pusat. 

Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa minggu saja. Namun, efeknya berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat untuk memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur. 

Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan administrasi kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jika terjadi peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu, pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik kiri.[20] Di Indonesia Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia. 

Sebelumnya, tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A. Wairisal.[21] Pemerintah segera melakukan serangan politik dan militer kepada negara sempalan ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia.[22] Sayangnya, anasir RMS tidak begitu saja menerima kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda dan Eropa Barat lain. 

Ruth Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas agama. Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku saat Republik Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah hubungan persaudaraan.[24] Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat. 

Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999 dengan munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan nasional mudah memanas. 

Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik, kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis, termasuk aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue tentang Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang pelanggaran hak asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa, menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku. 

Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privilese-privilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi politik 1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan politik riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media massa jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah, tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran yang paling rendah. 

Contoh upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka, Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari Cakalele disertai pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik. 

Tidak ada komentar: