BAMBU BUNTU

Minggu, 17 Februari 2013

PERANAN ANTIBIOTIK DALAM BIOTEKNOLOGI




PERANAN ANTIBIOTIK DALAM BIOTEKNOLOGI


Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bagaimanakah Bioteknologi berperan dalam bidang kesehatan?
Dalam kehidupan kita sehari-hari, secara langsung maupun tidak langsung, sebagian dari kita pernah berhubungan dengan hasil penerapan Bioteknologi bidang Kesehatan. Salah satu contohnya adalah insulin yang telah digunakan untuk mengobati penyakit diabetes. Penyakit diabetes pada manusia diobati dengan insulin manusia.
Bagaimanakah kita dapat memperoleh insulin manusia ini? Apakah untuk mengobati orang yang sakit diabetes ini kita harus mengorbankan orang yang sehat untuk diekstrak insulinnya?
Tentu saja tidak. Saat ini insulin manusia telah berhasil diproduksi secara masal dengan menggunakan bakteri. Kemampuan bakteri untuk memproduksi insulin manusia ini adalah karena telah berhasil memasukkan dan mengintegrasikan gen yang menyandikan insulin manusia kedalam genom bakteri.
Kemajuan dunia kedokteran saat ini tidak terlepas dari peran Bioteknologi. Sebagai bukti dengan ditemukannya vaksin, antibiotik, interferon, antibodimonoklonal, dan pengobatan melalui terapi gen dan lain sebagainya

ANTIBIOTIKA
a.   Pengertian Antibiotik
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun seperti strychnine, antibiotika dijuluki “peluru ajaib”: obat yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut. Antibiotika oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.
b.  Sejarah singkat penemuan antibiotika modern
Penemuan antibiotika terjadi secara ‘tidak sengaja’ ketika Alexander Fleming, pada tahun 1928, lupa membersihkan sediaan bakteri pada cawan petri dan meninggalkannya di rak cuci sepanjang akhir pekan. Pada hari Senin, ketika cawan petri tersebut akan dibersihkan, ia melihat sebagian kapang telah tumbuh di media dan bagian di sekitar kapang ‘bersih’ dari bakteri yang sebelumnya memenuhi media. Karena tertarik dengan kenyataan ini, ia melakukan penelitian lebih lanjut terhadap kapang tersebut, yang ternyata adalah Penicillium chrysogenum syn. P. notatum (kapang berwarna biru muda ini mudah ditemukan pada roti yang dibiarkan lembab beberapa hari). Ia lalu mendapat hasil positif dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu terhadap bakteri koleksinya. Dari ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik alami pertama: penicillin G.
Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya sudah diketahui oleh peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad ke-19 namun hasilnya tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.
c.   Macam-macam antibiotika
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika[1] dilihat dari target atau sasaran kerjanya(nama contoh diberikan menurut ejaan Inggris karena belum semua nama diindonesiakan atau diragukan pengindonesiaannya):
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide dan Cephalosporin, misalnya ampicillin, penicillin G.
[  Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid.
[  Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, tetracycline, oxytetracycline.
[  Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin.
[  Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomycin, tunicamycin; dan.
Antimetabolit, misalnya azaserine.
d.  Penggunaan antibiotika
Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri yang 'kebal' terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian antibiotika biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan antibiotika yang 'tanggung' hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang 'kebal'.
Pemakaian antibiotika di bidang pertanian sebagai antibakteri umumnya terbatas karena dianggap mahal, namun dalam bioteknologi pemakaiannya cukup luas untuk menyeleksi sel-sel yang mengandung gen baru. Praktik penggunaan antibiotika ini dikritik tajam oleh para aktivis lingkungan karena kekhawatiran akan munculnya hama yang tahan antibiotika.
e.   Mekanisme, cara kerja dan klasifikasinya
Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada obat, pejamu, dan agen penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat sulit untuk diprediksi mengingat kompleksnya interaksi yang terjadi di antara ketiganya. Namun pemilihan obat yang sesuai dengan dosis yang sepadan sangat berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari timbulnya resistansi agen penginfeksi.
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Literatur lain mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam konsentrasi rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi. Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua.
1)      Antibiotik yang bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri.
2)     Antibiotik yang bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau multiplikasi bakteri.
Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri dapat bermacam-macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat perkembangan bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja antibiotik dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan dasar untuk mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida, Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin.
Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya efektif terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran) yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus dinding peptidoglikan.
Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan Penicillin V, merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat sintesis dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit seperti sifilis, listeria, atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan telah membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian Penicillin tetap digunakan selain karena harganya yang murah juga produksinya yang mudah.
Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin. Ketiganya bersifat bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat sintesis dinding sel. Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif, sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus. Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif.
Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin Binding Protein) yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk membentuk jembatan peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat PBP berikatan dengannya sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi terhambat.
Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran dinding peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran) pada bakteri gram negatif.
Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin, merupakan antibiotik bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi) terhadap antibiotik dari golongan Beta-laktam.
Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki spektrum sasaran yang lebih luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya bersifat bakterisidal.
Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid, Lincosamides, Metronidazole.
a)    Quinolone merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara masuk melalui porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan menghambat replikasi dan transkripsi DNA. Quinolone lazim digunakan untuk infeksi traktus urinarius.
b)   Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan dengan β-subunit dari RNA polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya sintesis protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri spesies Mycobacterum.
c)    Nalidixic acid merupakan antibiotik bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan Quinolone, namun Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus.
d)   Lincosamides merupakan antibiotik yang berikatan pada subunit 50S  dan banyak digunakan untuk bakteri gram positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari golongan Lincosamides adalah Clindamycin.
e)    Metronidazole merupakan antibiotik bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek menghambat sintesis DNA.
Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol, Kanamycin, Oxytetracycline.
a)    Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin, menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya infeksi. Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma, dan Haemophilus.
b)   Aminoglycoside meliputi Streptomycin, Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c)    Tetracycline merupakan antibiotik bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian akan menghambat translasi protein. Namun antibiotik jenis ini memiliki efek samping yaitu menyebabkan gigi menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal dan hati.
d)    Chloramphenicol merupakan antibiotik bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan biasanya digunakan pada penyakit akibat kuman Salmonella.
Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya antara lain Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan menyebabkan kebocoran sel.
Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim, Azaserine.
a)    Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase (DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam folat, di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein. Biasanya Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis.
b)   Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA dan protein melalui penghambatan metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat (THF).
c)    Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine) merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-antagonis dan analog-glutamin. Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara berikatan dengan situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam protein.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau membentuk kekebalan terhadap antibiotik tersebut.
Penyembuhan penyakit dengan antibiotik sering digunakan masyarakat. Ini disebabkan masyarakat begitu mudah mendapatkan antibiotik di pasaran. Saat terserang flu atau peradangan, orang dengan mudah mengobati dirinya sendiri dengan membeli antibiotik.
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh.
Menurut dr Fajar Rudy Qimindra dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB), antibiotika yang ditemukan pada 1928 oleh Alexander Fleming ini, sekarang menghadapi masalah baru berupa kekebalan (resistansi). Karena penggunaannya yang bebas dan tidak sesuai dengan indikasi, sehingga efek dari resistansi ini adalah dikhawatirkan obat tersebut sudah tidak lagi efektif saat terjadi infeksi yang membutuhkan antibiotika.
Dikatakannya, selain bahaya kekebalan, efek lain yang bisa terjadi adalah timbulnya reaksi alergi. Alergi adakah mekanisme pertahanan tubuh yang terlalu sensitif. Ia bersifat individual (perseorangan) dan dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti debu, udang, telur, maupun obat-obatan sendiri. Alergi obat ini tidak tergantung pada dosisnya. Misalnya masyarakat menganggap yang mengandung 500 mg termasuk dosis tinggi dan dapat menimbulkan alergi dibanding 200 mg. Padahal setiap jenis antibiotika mempunyai dosis tersendiri yang spesifik.
Reaksi alergi yag timbul bisa bersifat ringan ataupun berat yang sampai mengancam jiwa. Yang ringan seperti gatal, mual, muntah, pusing dan sebagainya. Sedang reaksi yang berat disebut reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis ini adalah timbulnya kondisi syok pada pasien, yaitu dalam hitungan detik pasien bisa langsung tidak sadar, tetapi begitu mendapat suntikan anti-nya ia akan sadar kembali.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dan dokter.Seorang dokter akan menanyakan riwayat adanya alergi obat atau tidak,dan pasien wajib mencatat dan mengingat ada riwayat alergi apa saja. Pencegahan reaksi alergi yang lain, biasanya akan dilakukan tes kulit (skin test) untuk antibiotika yang berbentuk suntikan/injeksi. Cara sejumlah kecil dosis obat diencerkan kemudian disuntikkan di bawah kulit.
“Jika setelah dilakukan skin test si pasien mengidap alergi, maka timbul akan bentol-bentol di sekitar tempat suntikan. Jika sudah demikian maka pemberian antibiotika tersebut tidak akan diberikan. Dengan kata lain, jika antibiotika tersebut tidak cocok pada tubuh pasien, maka si pasien harus mendapatkan obat lain sebagai penggantinya,” ujar Qimi.
Dikatakan lebih lanjut, efek samping antibiotika dari penggunaan jangka panjang yang dipikirkan adalah pada organ tubuh yang memecah/mengeluarkan racunnya, yaitu ginjal. Perlu kewaspadaan apabila pada pasien tersebut sudah ada gejala kerusakan ginjal maka harus dipilih antibiotika yang sesuai.
Adapun jangka waktu penggunaan antibiotika ini sangat bervariasi, tergantung pada berat ringannya penyakit yang diderita. “Untuk infeksi kuman yang ringan, penggunaan selama tiga sampai lima hari saja biasanya sudah cukup,” kata pria yang sehari-hari tugas di rumah sakit di kawasan Jl Jend Sudirman Balikpapan Selatan ini.
Sebenarnya, ungkap Qimi, penggunaan antibiotika secara benar dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya, adalah harus sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya, dan tetap memperhatikan efek sampingnya. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi rasional dan tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika sesuai apa yang dikampanyekan oleh Badan kesehatan dunia,WHO.
Beberapa hal yang bisa dianjurkan dalam mengonsumsi antibiotik, antara lain sebaiknya jangan sembarangan minum antibiotika yang dibeli sendiri di apotek atau toko obat; untuk pertolongan awal gejala demam, batuk, flu boleh saja minum obat penangkalnya, tetapi jangan mengandalkan antibiotik; selalu berkonsultasi dengan dokter untuk setiap penggunaan antibiotika, dan tanyakan ke dokter tentang cara minum, lama minum dan lain-lain sehingga ada kejelasan.
“Bagaimana pun antibiotika adalah salah satu obat yang dapat digolongkan sebagai dalam pengawasan dokter. Sehingga resistensi yang terjadi karena penggunaan yang tidak terkontrol benar-benar bisa diminimalkan,” tegas Qimi.(fir).
f.   Fakta Menarik Tentang Antibiotik
Obat yang mengandung antibiotik sering kali menjadi buah semalakama. Pada satu sisi dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan. Di lain sisi, antibiotik diyakini akan menimbulkan masalah kesehatan baru pada si kecil.
Obat antibiotika, umumnya banyak dipakai untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Obat-obatan sepertiPenisilin (khusus bayi), Cloran Feniko, Sefalos Sporin, Tetrasiklin (khusus anak di atas 8 tahun) dan Quinolon (khusus anak besar), diberikan dokter bersama sejumlah obat lain. Umumnya, dokter akan menyarankan untuk meminumnya sampai habis, baik pada resep maupun secara lisan.
Secara medis, antibiotik merupakan senyawa mikroorganisme seperti jamur atau bakteri tertentu yang telah “dijinakkan” dan bila dimasukkan ke dalam tubuh dapat menjadi penyembuh yang ampuh. Antibiotik berperang melawan bakteri-bakteri di dalam tubuh. Namun perlu diingat, penggunaannya tidak boleh sembarangan. Bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko tinggi pada kesehatan si kecil.
Pada dasarnya, obat yang ditemukan oleh Alexander Fleming dari Scotlandia di tahun 1928 ini mempunyai dua cara kerja. Pertama, mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyakit (bakteriostassis) dan membunuh bakteri penyakit tersebut (baktericidal). Sehingga obat ini mampu menghilangkan dan membasmi bakteri tanpa menimbulkan efek samping yang berarti pada tubuh yang mengonsumsinya.
Namun, bukan berarti semua penyakit dapat diberikan antibiotik. Menurut Dr Hinky Hindra Irawan Satari SpA MTropaed, obat antibiotik umumnya diberikan pada penyakit-penyakit infeksi atau yang disebabkan oleh bakteria saja. Misalnya, penyakit-penyakit yang berkenaan dengan infeksi saluran pernapasan, saluran pencernaan atau peradangan telinga. Nah, untuk lebih jelasnya, berikut ini beberapa mitos dan fakta tentang penggunaan obat antibiotika:
[          Berhenti minum obat setelah sembuh
Menurut Hindra, banyak masyarakat awam yang meminum obat antibiotik secara salah, yaitu tidak menepati petunjuk meminum obat yang diberikan oleh dokter. Kebanyakan masyarakat awam, bila ia merasa sudah baikan, obat yang diberikan tidak lagi diminum. Misalnya, bila obat yang diberikan seharusnya diminum selama 7 hari, tapi baru 3 hari diminum sudah tidak diminum lagi. Pendapat ini merupakan cara yang salah. Padahal, meminum obat antibiotik tidak sesuai anjuran dokter atau penggunaan antibiotik dengan dosis rendah ini berbahaya.
[         Antibiotik tidak efektif
Banyak masyarakat awam “kecewa” dengan pemberian obat antibiotik. Banyak yang mengatakan, bahwa obat ini tidak efektif dalam menyembuhkan beberapa penyakit. Pada kenyataannya, antibiotik yang tidak efektif ini bisa disebabkan oleh bakteri yang sudah menjadi kebal terhadaap beberapa jenis obat antibiotik. Misalnya, konon penyakit akibat bakteri Streptococcus (penyebab penyakit pneumonia atau radang paru-paru) tidak bisa lagi disembuhkan dengan antibiotik jenis Vancomycin. Menurut Centre for Disrase Control and Prevention (CDCP), hal ini terjadi akibat adanya mutasi bakteri di dalam tubuh yang membuat bakteri Streptococcus kebal terhadap antibiotik. Bakteri-bakteri yang kebal ini, akan terus menginfeksi dan bahkan terus melipatgandakan jumlahnya sehingga menimbulkan ancaman baru yang lebih mengerikan pada tubuh.
[        Antibiotik menyebabkan gigi kuning
Saat ini teknologi dunia kedokteran sudah canggih, sehingga ahli media dapat menekan sebanyak mungkin efek samping antibiotik yang merugikan terhadap tumbuh kembang si kecil. Sebagian besar jenis antibiotik yang digunakan dokter saat ini tidak akan membuat gigi berubah warna. Tetapi memang ada satu jenis antibiotik yang sensitif bagi gigi, biasanya obat ini tidak boleh diberikan sebelum seorang anak berusia 8 tahun, yaitu jenis Tetrasiklin, karena sifatnya yang mengendap pada gigi.
[        Antibiotik bisa mengganggu kecerdasan
Pendapat ini, menurut Hindra adalah mitos belaka. “Penggunaan obat antibiotik tidak ada hubungannya sama sekali dengan kecerdasan anak,” tukasnya. Pada kenyataannya, kecerdasan anak dapat terganggu jika pada masa keemasan anak (usia 0-5 tahun), ia sering sakit  dan pengobatan dilakukan tidak secara maksimal atau serampangan. Misalnya, salah dalam menggunakan obat termasuk antibiotik yang mengakibatkan penyakit si kecil menjadi berlarut-larut. Sehingga ia tidak dapat memanfaatkan waktunya untuk menjalani proses tumbuh kembang.
[     Menyebabkan jamur pada rongga mulut
Jamur yang terlihat seperti lapisan atau selaput putih yang menonjol pada mulut, merupakan jenis jamur Candida albicans. Jamur ini sebenarnya merupakan penghuni normal di mulut. Namun jika keseimbangannya terganggu, seperti penggunaan antibiotik yang tidak tepat, akan menguntungkan jamur untuk tumbuh dan menyebabkan gejala infeksi.
[        Antibiotik pencetus diare
Pada bayi, penggunaan antibiotik kadang bisa menyebabkan terjadinya diare. Gejalanya seperti tinja yang encer, kadang ditambah kondisi lebih sering buang air besar, kotoran lebih banyak, ada lendir, dan muntah. Keadaan ini kemungkinan besar akibat efek samping dari kerja obat dalam mengatasi infeksi dan bakteri penyebab penyakit.
[        Gunakan antibiotik secara aman
Perhatikan petunjuk penggunaan obat yang diberikan oleh dokter, misalnya apakah penggunaan antibiotik memang diperlukan oleh penyakit si kecil. Gunakan sesuai dosis yang dianjurkan, jangan memberikan antibiotik dengan dosis yang kelewat rendah atau tinggi, karena bisa berbahaya.

Tidak ada komentar: