PERANAN ANTIBIOTIK DALAM BIOTEKNOLOGI
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan
makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk
hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan
jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi
semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer,
biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang
menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bagaimanakah Bioteknologi berperan dalam bidang kesehatan?
Dalam kehidupan kita sehari-hari, secara langsung maupun
tidak langsung, sebagian dari kita pernah berhubungan dengan hasil penerapan
Bioteknologi bidang Kesehatan. Salah satu contohnya adalah insulin yang telah
digunakan untuk mengobati penyakit diabetes. Penyakit diabetes pada manusia
diobati dengan insulin manusia.
Bagaimanakah kita dapat memperoleh insulin manusia ini?
Apakah untuk mengobati orang yang sakit diabetes ini kita harus mengorbankan
orang yang sehat untuk diekstrak insulinnya?
Tentu saja tidak. Saat ini insulin manusia telah berhasil
diproduksi secara masal dengan menggunakan bakteri. Kemampuan bakteri untuk
memproduksi insulin manusia ini adalah karena telah berhasil memasukkan dan mengintegrasikan
gen yang menyandikan insulin manusia kedalam genom bakteri.
Kemajuan dunia kedokteran saat ini tidak terlepas dari peran
Bioteknologi. Sebagai bukti dengan ditemukannya vaksin, antibiotik, interferon,
antibodimonoklonal, dan pengobatan melalui terapi gen dan lain sebagainya
ANTIBIOTIKA
a. Pengertian Antibiotik
Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun
sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia
di dalam organisme,
khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika khususnya
berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa
genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotika
bekerja seperti pestisida
dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya
adalah bakteri. Antibiotika
berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan
lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan
racun seperti strychnine, antibiotika
dijuluki “peluru ajaib”: obat
yang membidik penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif
menangani infeksi akibat virus,
jamur, atau nonbakteri
lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan
berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif
atau gram positif,
ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada
lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut. Antibiotika
oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif, dan antibiotika intravena
(melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotika kadangkala
dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep.
b. Sejarah singkat penemuan antibiotika modern
Penemuan antibiotika terjadi secara ‘tidak sengaja’ ketika Alexander Fleming, pada
tahun 1928, lupa membersihkan sediaan bakteri pada cawan petri
dan meninggalkannya di rak cuci sepanjang akhir pekan. Pada hari Senin, ketika cawan petri
tersebut akan dibersihkan, ia melihat sebagian kapang telah tumbuh di
media dan bagian di sekitar kapang ‘bersih’ dari bakteri yang sebelumnya
memenuhi media. Karena tertarik dengan kenyataan ini, ia melakukan penelitian
lebih lanjut terhadap kapang tersebut, yang ternyata adalah Penicillium
chrysogenum syn. P. notatum (kapang
berwarna biru muda ini mudah ditemukan pada roti yang dibiarkan lembab
beberapa hari). Ia lalu mendapat hasil positif dalam pengujian pengaruh ekstrak kapang itu
terhadap bakteri koleksinya. Dari ekstrak itu ia diakui menemukan antibiotik
alami pertama: penicillin G.
Penemuan efek antibakteri dari Penicillium sebelumnya
sudah diketahui oleh peneliti-peneliti dari Institut Pasteur di Perancis pada akhir abad
ke-19 namun hasilnya tidak diakui oleh lembaganya sendiri dan tidak dipublikasi.
c. Macam-macam antibiotika
Antibiotika dapat digolongkan berdasarkan sasaran kerja
senyawa tersebut dan susunan kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika[1]
dilihat dari target atau sasaran kerjanya(nama contoh diberikan menurut ejaan
Inggris karena belum semua nama diindonesiakan atau diragukan
pengindonesiaannya):
[ Inhibitor
sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan
Penicillin, Polypeptide dan Cephalosporin, misalnya ampicillin, penicillin G.
[ Inhibitor transkripsi dan replikasi,
mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin, actinomycin D, nalidixic acid.
[ Inhibitor sintesis protein,
mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan Macrolide,
Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol, kanamycin, streptomycin, tetracycline, oxytetracycline.
[ Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin.
[ Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa
atau sulfonamida,
misalnya oligomycin, tunicamycin; dan.
[ Antimetabolit, misalnya azaserine.
d. Penggunaan antibiotika
Karena biasanya antibiotika bekerja sangat spesifik pada
suatu proses, mutasi yang mungkin terjadi pada bakteri memungkinkan munculnya strain bakteri
yang 'kebal' terhadap antibiotika. Itulah sebabnya, pemberian antibiotika
biasanya diberikan dalam dosis yang menyebabkan bakteri segera mati dan dalam
jangka waktu yang agak panjang agar mutasi tidak terjadi. Penggunaan
antibiotika yang 'tanggung' hanya membuka peluang munculnya tipe bakteri yang
'kebal'.
Pemakaian antibiotika di bidang pertanian sebagai
antibakteri umumnya terbatas karena dianggap mahal, namun dalam bioteknologi pemakaiannya
cukup luas untuk menyeleksi sel-sel yang mengandung gen baru. Praktik
penggunaan antibiotika ini dikritik tajam oleh para aktivis lingkungan karena
kekhawatiran akan munculnya hama
yang tahan antibiotika.
e. Mekanisme, cara kerja dan klasifikasinya
Kemampuan suatu terapi antimikrobial sangat bergantung kepada
obat, pejamu, dan agen penginfeksi. Namun dalam keadaan klinik hal ini sangat
sulit untuk diprediksi mengingat kompleksnya interaksi yang terjadi di antara
ketiganya. Namun pemilihan obat yang sesuai dengan dosis yang sepadan sangat
berperan dalam menentukan keberhasilan terapi dan menghindari timbulnya
resistansi agen penginfeksi.
Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun
sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia
di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Literatur lain
mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang bahkan di dalam konsentrasi
rendah dapat menghambat pertumbuhan dan reproduksi bakteri dan fungi.
Berdasarkan sifatnya (daya hancurnya) antibiotik dibagi menjadi dua.
1) Antibiotik yang bersifat
bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif terhadap bakteri.
2) Antibiotik yang bersifat
bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau
multiplikasi bakteri.
Cara yang ditempuh oleh antibiotik dalam menekan bakteri
dapat bermacam-macam, namun dengan tujuan yang sama yaitu untuk menghambat
perkembangan bakteri. Oleh karena itu mekanisme kerja antibiotik dalam
menghambat proses biokimia di dalam organisme dapat dijadikan dasar untuk
mengklasifikasikan antibiotik sebagai berikut:
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah Beta-laktam, Penicillin, Polypeptida,
Cephalosporin, Ampicillin, Oxasilin.
Beta-laktam menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara
berikatan pada enzim DD-transpeptidase yang memperantarai dinding peptidoglikan
bakteri, sehingga dengan demikian akan melemahkan dinding sel bakteri Hal ini
mengakibatkan sitolisis karena ketidakseimbangan tekanan osmotis, serta
pengaktifan hidrolase dan autolysins yang mencerna dinding peptidoglikan yang
sudah terbentuk sebelumnya. Namun Beta-laktam (dan Penicillin) hanya efektif
terhadap bakteri gram positif, sebab keberadaan membran terluar (outer membran)
yang terdapat pada bakteri gram negatif membuatnya tak mampu menembus dinding
peptidoglikan.
Penicillin meliputi natural Penicillin, Penicillin G dan
Penicillin V, merupakan antibiotik bakterisidal yang menghambat sintesis
dinding sel dan digunakan untuk penyakit-penyakit seperti sifilis, listeria,
atau alergi bakteri gram positif/Staphilococcus/Streptococcus. Namun karena
Penicillin merupakan jenis antibiotik pertama sehingga paling lama digunakan
telah membawa dampak resistansi bakteri terhadap antibiotik ini. Namun demikian
Penicillin tetap digunakan selain karena harganya yang murah juga produksinya
yang mudah.
Polypeptida meliputi Bacitracin, Polymixin B dan Vancomycin.
Ketiganya bersifat bakterisidal. Bacitracin dan Vancomycin sama-sama menghambat
sintesis dinding sel. Bacitracin digunakan untuk bakteri gram positif,
sedangkan Vancomycin digunakan untuk bakteri Staphilococcus dan Streptococcus.
Adapun Polymixin B digunakan untuk bakteri gram negatif.
Cephalosporin (masih segolongan dengan Beta-laktam) memiliki
mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan menghambat sintesis peptidoglikan
dinding sel bakteri. Normalnya sintesis dinding sel ini diperantarai oleh PBP (Penicillin
Binding Protein) yang akan berikatan dengan D-alanin-D-alanin, terutama untuk
membentuk jembatan peptidoglikan. Namun keberadaan antibiotik akan membuat PBP
berikatan dengannya sehingga sintesis dinding peptidoglikan menjadi terhambat.
Ampicillin memiliki mekanisme yang sama dalam penghancuran
dinding peptidoglikan, hanya saja Ampicillin mampu berpenetrasi kepada bakteri
gram positif dan gram negatif. Hal ini disebabkan keberadaan gugus amino pada
Ampicillin, sehingga membuatnya mampu menembus membran terluar (outer membran)
pada bakteri gram negatif.
Penicillin jenis lain, seperti Methicillin dan Oxacillin,
merupakan antibiotik bakterisidal yang digunakan untuk menghambat sintesis
dinding sel bakteri. Penggunaan Methicillin dan Oxacillin biasanya untuk
bakteri gram positif yang telah membentuk kekebalan (resistansi) terhadap
antibiotik dari golongan Beta-laktam.
Antibiotik jenis inhibitor sintesis dinding sel lain memiliki
spektrum sasaran yang lebih luas, yaitu Carbapenems, Imipenem, Meropenem. Ketiganya
bersifat bakterisidal.
Antibiotik yang menghambat transkripsi dan replikasi. Yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah Quinolone, Rifampicin, Actinomycin D, Nalidixic acid,
Lincosamides, Metronidazole.
a) Quinolone merupakan antibiotik
bakterisidal yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara masuk melalui
porins dan menyerang DNA girase dan topoisomerase sehingga dengan demikian akan
menghambat replikasi dan transkripsi DNA. Quinolone lazim digunakan untuk
infeksi traktus urinarius.
b) Rifampicin (Rifampin) merupakan antibiotik
bakterisidal yang bekerja dengan cara berikatan dengan β-subunit dari RNA
polymerase sehingga menghambat transkripsi RNA dan pada akhirnya sintesis
protein. Rifampicin umumnya menyerang bakteri spesies Mycobacterum.
c) Nalidixic acid merupakan antibiotik
bakterisidal yang memiliki mekanisme kerja yang sama dengan Quinolone, namun
Nalidixic acid banyak digunakan untuk penyakit demam tipus.
d) Lincosamides merupakan antibiotik yang
berikatan pada subunit 50S dan banyak digunakan untuk bakteri gram
positif, anaeroba Pseudomemranous colitis. Contoh dari golongan Lincosamides
adalah Clindamycin.
e) Metronidazole merupakan antibiotik
bakterisidal diaktifkan oleh anaeroba dan berefek menghambat sintesis DNA.
Antibiotik yang menghambat sintesis protein. Yang termasuk ke
dalam golongan ini adalah Macrolide, Aminoglycoside, Tetracycline, Chloramphenicol, Kanamycin, Oxytetracycline.
a) Macrolide, meliputi Erythromycin dan Azithromycin,
menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara berikatan pada subunit 50S ribosom,
sehingga dengan demikian akan menghambat translokasi peptidil tRNA yang
diperlukan untuk sintesis protein. Peristiwa ini bersifat bakteriostatis, namun
dalam konsentrasi tinggi hal ini dapat bersifat bakteriosidal. Macrolide
biasanya menumpuk pada leukosit dan akan dihantarkan ke tempat terjadinya
infeksi. Macrolide biasanya digunakan untuk Diphteria, Legionella mycoplasma,
dan Haemophilus.
b) Aminoglycoside meliputi Streptomycin,
Neomycin, dan Gentamycin, merupakan antibiotik bakterisidal yang berikatan
dengan subunit 30S/50S sehingga menghambat sintesis protein. Namun antibiotik
jenis ini hanya berpengaruh terhadap bakteri gram negatif.
c) Tetracycline merupakan antibiotik
bakteriostatis yang berikatan dengan subunit ribosomal 16S-30S dan mencegah
pengikatan aminoasil-tRNA dari situs A pada ribosom, sehingga dengan demikian
akan menghambat translasi protein. Namun antibiotik jenis ini memiliki efek
samping yaitu menyebabkan gigi menjadi berwarna dan dampaknya terhadap ginjal
dan hati.
d) Chloramphenicol merupakan antibiotik
bakteriostatis yang menghambat sintesis protein dan biasanya digunakan pada
penyakit akibat kuman Salmonella.
Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel. Contohnya
antara lain Ionimycin dan Valinomycin. Ionomycin bekerja dengan meningkatkan
kadar kalsium intrasel sehingga mengganggu kesetimbangan osmosis dan
menyebabkan kebocoran sel.
Antibiotik yang menghambat bersifat antimetabolit. Yang
termasuk ke dalam golongan ini adalah Sulfa atau Sulfonamide, Trimetophrim,
Azaserine.
a) Pada bakteri, Sulfonamide bekerja dengan
bertindak sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim dihidropteroate sintetase
(DHPS). Dengan dihambatnya enzim DHPS ini menyebabkan tidak terbentuknya asam
tetrahidrofolat bagi bakteri. Tetrahidrofolat merupakan bentuk aktif asam
folat, di mana fungsinya adalah untuk berbagai peran biologis di antaranya
dalam produksi dan pemeliharaan sel serta sintesis DNA dan protein. Biasanya
Sulfonamide digunakan untuk penyakit Neiserria meningitis.
b) Trimetophrim juga menghambat pembentukan DNA
dan protein melalui penghambatan metabolisme, hanya mekanismenya berbeda dari
Sulfonamide. Trimetophrim akan menghambat enzim dihidrofolate reduktase yang
seyogyanya dibutuhkan untuk mengubah dihidrofolat (DHF) menjadi tetrahidrofolat
(THF).
c) Azaserine (O-diazo-asetyl-I-serine)
merupakan antibiotik yang dikenal sebagai purin-antagonis dan analog-glutamin.
Azaserin mengganggu jalannya metabolisme bakteri dengan cara berikatan dengan
situs yang berhubungan sintesis glutamin, sehingga mengganggu pembentukan
glutamin yang merupakan salah satu asam amino dalam protein.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah
dosis serta jenis antibiotik yang diberikan haruslah tepat. Jika antibiotik
diberikan dalam jenis yang kurang efektif atau dosis yang tanggung maka yang
terjadi adalah bakteri tidak akan mati melainkan mengalami mutasi atau
membentuk kekebalan terhadap antibiotik tersebut.
Penyembuhan penyakit dengan antibiotik sering digunakan
masyarakat. Ini disebabkan masyarakat begitu mudah mendapatkan antibiotik di
pasaran. Saat terserang flu atau peradangan, orang dengan mudah mengobati
dirinya sendiri dengan membeli antibiotik.
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba,
terutama jamur, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.
Banyak antibiotika saat ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh.
Menurut dr Fajar Rudy Qimindra dari Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB), antibiotika
yang ditemukan pada 1928 oleh Alexander Fleming ini, sekarang menghadapi
masalah baru berupa kekebalan (resistansi). Karena penggunaannya yang bebas dan
tidak sesuai dengan indikasi, sehingga efek dari resistansi ini adalah
dikhawatirkan obat tersebut sudah tidak lagi efektif saat terjadi infeksi yang
membutuhkan antibiotika.
Dikatakannya, selain bahaya kekebalan, efek lain yang bisa
terjadi adalah timbulnya reaksi alergi. Alergi adakah mekanisme pertahanan
tubuh yang terlalu sensitif. Ia bersifat individual (perseorangan) dan dapat
disebabkan oleh berbagai hal seperti debu, udang, telur, maupun obat-obatan
sendiri. Alergi obat ini tidak tergantung pada dosisnya. Misalnya masyarakat
menganggap yang mengandung 500 mg termasuk dosis tinggi dan dapat menimbulkan
alergi dibanding 200 mg. Padahal setiap jenis antibiotika mempunyai dosis
tersendiri yang spesifik.
Reaksi alergi yag timbul bisa bersifat ringan ataupun berat
yang sampai mengancam jiwa. Yang ringan seperti gatal, mual, muntah, pusing dan
sebagainya. Sedang reaksi yang berat disebut reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis
ini adalah timbulnya kondisi syok pada pasien, yaitu dalam hitungan detik
pasien bisa langsung tidak sadar, tetapi begitu mendapat suntikan anti-nya ia
akan sadar kembali.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara pasien
dan dokter.Seorang dokter akan menanyakan riwayat adanya alergi obat atau
tidak,dan pasien wajib mencatat dan mengingat ada riwayat alergi apa saja.
Pencegahan reaksi alergi yang lain, biasanya akan dilakukan tes kulit (skin
test) untuk antibiotika yang berbentuk suntikan/injeksi. Cara sejumlah kecil
dosis obat diencerkan kemudian disuntikkan di bawah kulit.
“Jika setelah dilakukan skin test si pasien mengidap alergi,
maka timbul akan bentol-bentol di sekitar tempat suntikan. Jika sudah demikian
maka pemberian antibiotika tersebut tidak akan diberikan. Dengan kata lain,
jika antibiotika tersebut tidak cocok pada tubuh pasien, maka si pasien harus
mendapatkan obat lain sebagai penggantinya,” ujar Qimi.
Dikatakan lebih lanjut, efek samping antibiotika dari
penggunaan jangka panjang yang dipikirkan adalah pada organ tubuh yang
memecah/mengeluarkan racunnya, yaitu ginjal. Perlu kewaspadaan apabila pada
pasien tersebut sudah ada gejala kerusakan ginjal maka harus dipilih
antibiotika yang sesuai.
Adapun jangka waktu penggunaan antibiotika ini sangat
bervariasi, tergantung pada berat ringannya penyakit yang diderita. “Untuk
infeksi kuman yang ringan, penggunaan selama tiga sampai lima hari saja
biasanya sudah cukup,” kata pria yang sehari-hari tugas di rumah sakit di
kawasan Jl Jend Sudirman Balikpapan Selatan ini.
Sebenarnya, ungkap Qimi, penggunaan antibiotika secara benar
dan rasional memang harus diberikan. Rasional di sini maksudnya, adalah harus
sesuai dengan indikasi penyakitnya, sesuai dosisnya, sesuai cara pemberiannya,
dan tetap memperhatikan efek sampingnya. Sehingga diharapkan masyarakat menjadi
rasional dan tidak berlebihan dalam menggunakan antibiotika sesuai apa yang
dikampanyekan oleh Badan kesehatan dunia,WHO.
Beberapa hal yang bisa dianjurkan dalam mengonsumsi antibiotik,
antara lain sebaiknya jangan sembarangan minum antibiotika yang dibeli sendiri
di apotek atau toko obat; untuk pertolongan awal gejala demam, batuk, flu boleh
saja minum obat penangkalnya, tetapi jangan mengandalkan antibiotik; selalu
berkonsultasi dengan dokter untuk setiap penggunaan antibiotika, dan tanyakan
ke dokter tentang cara minum, lama minum dan lain-lain sehingga ada kejelasan.
“Bagaimana pun antibiotika adalah salah satu obat yang dapat
digolongkan sebagai dalam pengawasan dokter. Sehingga resistensi yang terjadi
karena penggunaan yang tidak terkontrol benar-benar bisa diminimalkan,” tegas
Qimi.(fir).
f. Fakta Menarik Tentang Antibiotik
Obat yang mengandung antibiotik sering kali menjadi buah
semalakama. Pada satu sisi dipercaya dapat mempercepat proses penyembuhan. Di
lain sisi, antibiotik diyakini akan menimbulkan masalah kesehatan baru pada si
kecil.
Obat antibiotika, umumnya banyak dipakai untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Obat-obatan sepertiPenisilin (khusus bayi), Cloran
Feniko, Sefalos Sporin, Tetrasiklin (khusus anak di atas 8 tahun) dan Quinolon (khusus
anak besar), diberikan dokter bersama sejumlah obat lain. Umumnya, dokter akan
menyarankan untuk meminumnya sampai habis, baik pada resep maupun secara lisan.
Secara medis, antibiotik merupakan senyawa mikroorganisme
seperti jamur atau bakteri tertentu yang telah “dijinakkan” dan bila dimasukkan
ke dalam tubuh dapat menjadi penyembuh yang ampuh. Antibiotik berperang melawan
bakteri-bakteri di dalam tubuh. Namun perlu diingat, penggunaannya tidak boleh
sembarangan. Bila dikonsumsi berlebihan akan berisiko tinggi pada kesehatan si
kecil.
Pada dasarnya, obat yang ditemukan oleh Alexander Fleming
dari Scotlandia di tahun 1928 ini mempunyai dua cara kerja. Pertama, mampu
menghambat pertumbuhan bakteri penyakit (bakteriostassis) dan membunuh bakteri
penyakit tersebut (baktericidal). Sehingga obat ini mampu menghilangkan dan
membasmi bakteri tanpa menimbulkan efek samping yang berarti pada tubuh yang
mengonsumsinya.
Namun, bukan berarti semua penyakit dapat diberikan
antibiotik. Menurut Dr Hinky Hindra Irawan Satari SpA MTropaed, obat antibiotik
umumnya diberikan pada penyakit-penyakit infeksi atau yang disebabkan oleh
bakteria saja. Misalnya, penyakit-penyakit yang berkenaan dengan infeksi
saluran pernapasan, saluran pencernaan atau peradangan telinga. Nah, untuk
lebih jelasnya, berikut ini beberapa mitos dan fakta tentang penggunaan obat
antibiotika:
[ Berhenti
minum obat setelah sembuh
Menurut Hindra, banyak masyarakat awam yang meminum obat
antibiotik secara salah, yaitu tidak menepati petunjuk meminum obat yang
diberikan oleh dokter. Kebanyakan masyarakat awam, bila ia merasa sudah baikan,
obat yang diberikan tidak lagi diminum. Misalnya, bila obat yang diberikan
seharusnya diminum selama 7 hari, tapi baru 3 hari diminum sudah tidak diminum
lagi. Pendapat ini merupakan cara yang salah. Padahal, meminum obat antibiotik
tidak sesuai anjuran dokter atau penggunaan antibiotik dengan dosis rendah ini
berbahaya.
[ Antibiotik
tidak efektif
Banyak masyarakat awam “kecewa” dengan pemberian obat
antibiotik. Banyak yang mengatakan, bahwa obat ini tidak efektif dalam
menyembuhkan beberapa penyakit. Pada kenyataannya, antibiotik yang tidak
efektif ini bisa disebabkan oleh bakteri yang sudah menjadi kebal terhadaap
beberapa jenis obat antibiotik. Misalnya, konon penyakit akibat bakteri Streptococcus
(penyebab penyakit pneumonia atau radang paru-paru) tidak bisa lagi disembuhkan
dengan antibiotik jenis Vancomycin. Menurut Centre for Disrase Control and
Prevention (CDCP), hal ini terjadi akibat adanya mutasi bakteri di dalam tubuh
yang membuat bakteri Streptococcus kebal terhadap antibiotik. Bakteri-bakteri
yang kebal ini, akan terus menginfeksi dan bahkan terus melipatgandakan
jumlahnya sehingga menimbulkan ancaman baru yang lebih mengerikan pada tubuh.
[ Antibiotik
menyebabkan gigi kuning
Saat ini teknologi dunia kedokteran sudah canggih, sehingga
ahli media dapat menekan sebanyak mungkin efek samping antibiotik yang
merugikan terhadap tumbuh kembang si kecil. Sebagian besar jenis antibiotik
yang digunakan dokter saat ini tidak akan membuat gigi berubah warna. Tetapi
memang ada satu jenis antibiotik yang sensitif bagi gigi, biasanya obat ini
tidak boleh diberikan sebelum seorang anak berusia 8 tahun, yaitu jenis Tetrasiklin,
karena sifatnya yang mengendap pada gigi.
[ Antibiotik bisa
mengganggu kecerdasan
Pendapat ini, menurut Hindra adalah mitos belaka. “Penggunaan
obat antibiotik tidak ada hubungannya sama sekali dengan kecerdasan anak,”
tukasnya. Pada kenyataannya, kecerdasan anak dapat terganggu jika pada masa
keemasan anak (usia 0-5 tahun), ia sering sakit dan pengobatan dilakukan
tidak secara maksimal atau serampangan. Misalnya, salah dalam menggunakan obat
termasuk antibiotik yang mengakibatkan penyakit si kecil menjadi
berlarut-larut. Sehingga ia tidak dapat memanfaatkan waktunya untuk menjalani
proses tumbuh kembang.
[ Menyebabkan jamur pada rongga mulut
Jamur yang terlihat seperti lapisan atau selaput putih yang
menonjol pada mulut, merupakan jenis jamur Candida albicans. Jamur ini
sebenarnya merupakan penghuni normal di mulut. Namun jika keseimbangannya
terganggu, seperti penggunaan antibiotik yang tidak tepat, akan menguntungkan
jamur untuk tumbuh dan menyebabkan gejala infeksi.
[ Antibiotik
pencetus diare
Pada bayi, penggunaan antibiotik kadang bisa menyebabkan
terjadinya diare. Gejalanya seperti tinja yang encer, kadang ditambah kondisi
lebih sering buang air besar, kotoran lebih banyak, ada lendir, dan muntah.
Keadaan ini kemungkinan besar akibat efek samping dari kerja obat dalam
mengatasi infeksi dan bakteri penyebab penyakit.
[ Gunakan
antibiotik secara aman
Perhatikan petunjuk penggunaan obat yang diberikan oleh
dokter, misalnya apakah penggunaan antibiotik memang diperlukan oleh penyakit
si kecil. Gunakan sesuai dosis yang dianjurkan, jangan memberikan antibiotik
dengan dosis yang kelewat rendah atau tinggi, karena bisa berbahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar